Multiprofesional
Learning 89
Menumbuhkan
Ketrampilan Kepemimpinan dan Team-Building serta Penghargaan terhadap
Profesi Lain Melalui Interprofessional Education Analisis Kemungkinan
Penerapannya Pada Fakultas Kedokteran di Indonesia
Fostering
Medical Students’ Leadership and Team Building Skills and Respect toward Other
Health Profession through Inter-Professional Education
Analysis
of Its Possible Application in Indonesian Medical Schools
Endang
Lestari1*
ABSTRACT
Inter-professional
learning is becoming a very hot issue in medical education field in Indonesia
nowadays. Many medical faculties carried out discussions about this topic to
consider the possibility to apply the method of learning in their own
faculties. This writing is a critical review of an article concerning
multiprofessional learning in medical field and an analysis of its possible
implications to improve the quality f medical education in Indonesia (Sains
Medika, 3(1):89-101).
Key
words: Interprofessional learning, medical
education, team working
ABSTRAK
Inter-professional
learning menjadi issu nasional dalam bidang pendidikan kedokteran. Berbagai
diskusi dilakukan di beberapa perguruan tinggi, untuk mengkaji kemungkinan
penerapan pendekatan multiprofesi dalam bidang kesehatan tersebut. Berikut
adalah review terhadap salah satu artikel mengenai multiprofesional learning
dalam bidang medis serta membahas berbagai implikasi yang dapat dipelajari dari
artikel tersebut bagi pengembangan pendidikan kedokteran di Indonesia (Sains
Medika, 3(1):89-101).
Kata
kunci: Interprofessional learning, pendidikan kedokteran,
team working
PENDAHULUAN
Artikel
ini merupakan review dari artikel yang ditulis oleh Oneha, F. Yoshimoto, Cedric.
Enos, dan Nui (2001) dari Wainae Coast Comprehensive Health Center,
Hawaii, USA dengan judul Educating Health Professionals in Community
Setting: What Students Value.
Artikel
tersebut merupakan laporan penelitian yang dilakukan oleh Tim Bagian Community
Health
Service, Waianae Coast Comprehensive Health Center,
Amerika Serikat. Penelitian
yang
dilakukan penulis tersebut ditujukan untuk menggali pengalaman yang diperoleh siswa
selama mengikuti kegiatan di Health Center yang kemudian sangat
berpengaruh pada kegiatan praktik kedokteran yang mereka lakukan setelah mereka
menjadi dokter. Metode yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah
survei, dengan 1 Bagian Medical Education Unit Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) * Email: endang271@yahoo.com
90 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011 mengirimkan kuesioner kepada 65
dokter yang selama menjalani pendidikan dokter pernah mengikuti kegiatan di Health
Center tersebut. Tiga pertanyaan dalam kuesioner yang dikirimkan kepada
para dokter tersebut adalah: (1) tiga pengalaman apa sajakah yang anda peroleh
di Health Center yang sangat bermanfaat bagi praktik anda sekarang? (2)
ada hal lain yang akan anda sampaikan kepada kami? (3) bekerja di manakah anda sekarang?
Hasil dari penelitian survei tersebut menunjukkan
bahwa ada tiga komponen yang sangat berpengaruh bagi kegiatan praktik mereka
sekarang, yakni (1) pendekatan multiprofesional yang dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran (2) setting dan kontak dengan komunitas, (3) pemahaman budaya
komunitas tempat melakukan praktik. Pengalaman yang mereka peroleh selama
mengikuti kegiatan di Health center tersebut tenyata juga mempengaruhi
pilihan kerjanya, sebagian besar telah dan berniat praktik di komunitas
tertentu, seperti daerah pinggiran dan daerah yang belum memperoleh layanan
kesehatan.
Hasil
penelitian di atas menunjukkan bahwa kurikulum kedokteran komunitas dengan
pendekatan multiprofesional sangat relevan dengan kebijakan praktik pelayanan medis
yang diterapkan saat ini di Amerika Serikat. Yang dimaksud multiprofesional adalah
profesi dari berbagai disiplin seperti misalnya dokter, perawat, pekerja
sosial, kesehatan masyarakat yang duduk bersama dan bekerja sama dalam satu tim
untuk mengidentifikasi dan menerapkan program pelayanan kesehatan masyarakat.
Kurikulum multiprofesional ini diterapkan bagi siswa di Universitas Hawai.
Tujuan dari penerapan kurikulum tersebut adalah menyusun model pendidikan
kesehatan yang berorientasi pada komunitas untuk berbagai profesi kesehatan.
Siswa dari berbagai jurusan melakukan kegiatan dalam satu tim interdisipliner,
maksudnya mereka bekerja bersama, menentukan kebijakan, tujuan kegiatan secara
tim. Bedanya dengan tim multidisipliner adalah bahwa tim tersebut terdiri dari
anggota dari berbagai bidang, kemudian bekerja dengan tujuan masing-masing,
bukan satu tujuan tim.
Proyek
yang diberikan kepada tim interdisipliner ini adalah menyelesaikan masalah
kesehatan di daerah pinggiran. Sebelumnya mereka mendapatkan pendidikan interdisipliner
di daerah pinggiran Virginia. Keuntungan yang didapat dari kegiatan ini Multiprofesional
Learning 91 adalah bahwa (1) mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi
peran yang harus dilakukan masing-masing profesi, yang selanjutnya dapat
menumbuhkan rasa hormat kepada profesi lain (2) memberikan apresiasi pada
dimensi kultural dengan cara hidup
bersama
di komunitas tempat meeka bertugas, dan mengikuti berbagai kegiatan kemunitas
(3)
menghormati kelebihan dan kontribusi masing-masing disiplin untuk menyelesaikan
masalah tim (4) memiliki pengalaman bekerjasama dengan profesi lain. Penelitian
tersebut sangat menarik dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat
mengenai pengaruh positif penerapan kurikulum community
basedmultiprofessional bagi pendidikan kedokteran. Dalam tulisan ini akan
dieksplorasi mengenai kegiatan community based multiprofessional education yang
diterapkan dalam kegiatan di Health Center. Selanjutnya akan dijelaskan
mengapa kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi praktik dokter dengan
menggunakan teori Interdisciplinary Collaborative Practice (IDCP)
yang dikemukakan oleh Orchard et al., (2005). Manfaat —dalam konteks kepemimpinan—apa
sajakah yang dapat diperoleh melalui kegiatan tersebut juga akan dieksplor.
Kemudian akan dikritisi pula mengenai kemungkinan penerapan multidisciplinary
practice ini dalam kegiatan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Kajian
terhadap teori pendidikan yang melandasi penerapan pendidikan multiprofessional
Perlu
ditegaskan mengenai perbedaan multi-professional dan interprofessional
education, karena kedua terminologi tersebut sering dipergunakan
secara bergantian bahkan yang satu menggantikan yang lain, padahal
keduanya memiliki pengertian dan ciri yang berbeda. CAIPE (Centre for
the Advancement of Inter-Professional Education,
1997)
mendefinisikan multi-professional education sebagai proses pembelajaran
yang terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar berdampingan untuk tujuan
apapun, sedangkan inter-professional education adalah proses
pembelajaran yang terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar dari dan
mengenai satu profesi dengan profesi lainnya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan (Lorente et al., 2006). Bertolak dari definisi ini, maka
sesungguhnya istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena kegiatan di Wainae
Coast Comprehensive Health Center, Hawaii, USA tersebut adalah inter-professional
learning. Penggunaan istilah ini didasarkan pada adanya fenomena saling
belajar dan mengajar 92 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011
antara
satu profesi dengan lainnya, untuk memahami peran dan tanggung jawab
masingmasing profesi.
Dalam artikel tersebut, penulis tidak menyampaikan
teori pendidikan yang melandasi diterapkannya pendekatan tersebut. Bagi
pendidikan kedokteran, penerapan pendekatan multiprofesional ini adalah bagian
dari upaya untuk memberikanpengalaman pembelajaran seperti yang akan dihadapi
oleh pembelajar kelak di lingkungan kerjanya. Oleh karena itu, pendekatan ini
selaras dengan teori konstruktivisme. Simon (2001) melaporkan bahwa dasar-dasar
konstruktivisme yang melandasi penerapan pendekatan pembelajaran antara lain:
-
Belajar adalah proses aktif, dan pengalaman sangat mempengaruhi berarti atau tidaknya
sebuah informasi.
-
Konsep yang dimiliki seseorang akan berkembang seiring dengan negosiasi makna dan
berbagi pandangan dari berbagai perspektif. Perubahan representasi internal terjadi
melalui kegiatan belajar kelompok.
-
Belajar harus disesuaikan dengan situasi yang nyata, yang akan dihadapi oleh pembelajar
kelak.
Secara umum dipahami bahwa kerja dokter dalam
pelayanan medis akan selalu
berhubungan
dengan profesi-profesi lain, seperti perawat, dan bagian kesehatan masyarakat.
Mahasiswa harus diberi pengalaman mengenai apa dan harus bagaimana berinteraksi
dengan dan hormat kepada profesi lain, dengan komunikasi dan hubungan interpersonal
yang baik. Jika pengalaman mengenai hubungan interpersonal dengan profesi lain
tidak pernah diperoleh siswa selama pendidikan, maka bisa dimungkinkan mereka
akan tidak siap atau butuh penyesuaian waktu yang lama untuk bekerjasama dengan
profesi lain di tempat kerjanya kelak. Oleh karena itu, Pittilo dan Ross
(1998), Orchard et al., (2005), Iedema et al., (2004) dan Horder
(2000) semua menyarankan pentingnya mengembangkan kultur multiprofesional
tersebut dalam pendidikan kedokteran.
Konsep collaborative learning dan self
directed learning – inti dari pendekatan pembelajaran orang dewasa – sangat
mewarnai kegiatan pembelajaran dengan menggunakan community based
multi-professional education ini. Pada umumnya, dalam Multiprofesional
Learning 93 kegiatan work based learning seperti yang dilakukan di Waianae
Coast Comprehensive Health Center ini menuntut siswa untuk secara
mandiri menentukan tujuan yang akan diperoleh dalam kegiatan tersebut dan
bentuk kegiatan yang akan dilakukan dan
dipelajari,
dengan difasilitasi oleh para tutor (Maclaren dan Marshall, 1998). Fenomena tersebut
adalah gambaran aplikasi self directed learning. Aplikasi collaborative
learning dapat dilihat dari kerjasama multiprofesi tersebut untuk melakukan
interdisciplinary team-work, baik sejak penentuan tujuan dan
kegiatan team, hingga pelaksanaan dan evaluasi kegiatan tersebut.
Kajian
terhadap manfaat multiprofessional education bagi pendidikan kedokteran
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Oneha et al.,
(2001) tersebut, dengan mengeksplorasi pendapat dokter yang sudah praktik yang
dahulu pernah mengenyam pendidikan di Waianae Coast Comprehensive Health
Center tersebut, diketahui bahwa manfaat pendekatan pelayanan dan
pembelajaran multiprofesional tersebutlah yang dirasakan sangat bermanfaat bagi
mereka dalam menjalankan tugas pelayanan saat ini, selain manfaat dari
pembelajaran budaya komunitas tempat mereka belajar menjalankan tugas. Oneha et
al., (2001) juga membahas manfaat kegiatan tersebut bagi pengembangan
personal dan profesi serta kemampuan untuk memberikan arahan bagi pengembangan
diri dan karier di masa yang akan datang.
Pemberian pengalaman kepada siswa untuk melakukan
pembelajaran pada konteks multiprofesionalme adalah ide yang sangat hebat.
Banyak hal yang dapat dipelajari oleh siswa ketika melakukan multiprofessional
education dengan menggunakan interdisciplinary team-work, antara
lain adalah tumbuhnya pemahaman nilai-nilai kepakaran dari profesi pemberi
pelayanan kesehatan yang beragam. Pelayanan interdisipliner memungkinkan siswa
untuk melakukan partnership antara berbagai profesi pelayan kesehatan
dan klien dengan menggunakan pendekatan partisipatoris, kolaboratif dan
terkoordinasi untuk menyusun keputusan seputar masalah kesehatan. Terkait
dengan interdisciplinary team-work ini, Orchard et al., (2005)
menyusun konsep patient centered interdisciplinary collaborative
practice (IDCP).
Proses perubahan selama pengembangan kekelompokan Secara
teori, menurut Orchard et al., (2005), ada beberapa fase yang akan
dilalui oleh kelompok dalam mengembangkan team-work, yakni fase
sensitisasi, fase eksplorasi, fase implementasi dan fase evaluasi. Pada fase
sensitisasi, terjadi penyusunan struktur organisasi, ketidaksetaraan kekuatan
dan sosialisasi peran. Selanjutnya pada fase eksplorasi, terjadi klarifikasi
peran yang harus dilakukan tiap individu dalam kelompok dan penghargaan peran
masing-masing. Pada even klarifikasi peran, anggota kelompok mendiskusikan: (a)
kejelasan pemahaman mengenai peran masing-masing, (b) percaya diri dengan
kemampuan pribadinya, (c) mengenali hal-hal terkait dengan profesinya, (d) komitmen
terhadap nilai dan etika profesinya, (e) mengetahui standard praktik pelayanan sesuai
dengan profesinya masing-masing. Peran pasien dalam kegiatan kolaborasi ini juga
harus dieksplor bersama pasien dan tim.
Selanjutnya, pada fase implementasi terjadi proses
saling mempercayai hubungan
antar
tiap anggota, yang ditandai dengan: (a) adanya pembagian tanggung jawab dalam pelayanan
pasien, (b) pelayanan dilakukan secara kooperatif (c) pendekatan kerja tim Multiprofesional
Learning 95 didasarkan pada kemauan untuk berpartisipasi dan keikutsertaan
dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, (d) power atau kekuasaan
diberikan berdasarkan keilmuan yang dimiliki. Pada fase evaluasi, tim akan
mengevaluasi efektivitas kerja tim. Beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi
adalah proses kerja kelompok, kepuasan anggota kelompok, luaran pelayanan
(hasil yang diperoleh pasien), dan kepuasan pasien dan keluarganya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kelompok
yang produktif adalah kelompok yang memfokuskan diri pada tugas yang harus
dilaksanakannya dan komunikasi antar kelompok. Pada pelaksanaan tugas, hal yang
ikut berpengaruh dalam keberhasilannya adalah (a) kemampuan untuk melakukan
kepemimpinan informal, (b) kemampuan untuk menyusun tujuan kegiatan, (c) kemampuan
saling mempengaruhi, (d) negosiasi peran (e) kemampuan untuk membangun
kekelompokan, (f) problem solving, (g) menentukan masalah, (h) manajemen
konflik. Kunci keberhasilan lainnya adalah bagaimana perbedaan pendapat dan
konflik yang terjadi dapat ditangani dan apakah perbedaan pendapat dapat
diterima dengan cara yang baik. Jika keduanya dapat dikuasai oleh anggota
kelompok, maka jalan team work akan berjalan dengan lancar. Bertolak
dari penjelasan terakhir tersebut, bisa dipahami bahwa kemampuan kepemimpinan
dan team working harus dikuasai oleh siswa baik mulai dari fase sensitisasi
hingga evaluasi. Sayang sekali kuesioner Oneha et al., (2001) tidak
secara spesifik memberikan pertanyaan mengenai manfaat aplikasi kepemimpinan
dan
pengelolaan
team work yang telah mereka pelajari dalam multiprofessional
education tersebut pada pekerjaan mereka sekarang. Dalam paper laporan
hasil penelitian tersebut juga tidak banyak dibahas aspek kepemimpinan
dan team working dalam pendidikan multiprofessional. Ketiga
pertanyaan dalam kuesioner tersebut adalah pertanyaan umum
yang
harapannya akan memungkinkan munculnya jawaban yang sifatnya umum pula.
Meskipun demikian, dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa mendapat banyak pelajaran dari pendidikan multiprofessional yang
dilaksanakan. Bisa jadi beberapa
diantaranya
adalah manfaat dari penerapan prinsip kepemimpinan, dan pengembangan team
work, seperti pada konsep yang dijelaskan oleh Orchard et al.,
(2005). 96 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011
Kajian
terhadap kemungkinan penerapan pendidikan interprofesional dalam pendidikan kedokteran
di Indonesia
Dari artikel yang ditulis oleh Oneha tersebut,
diketahui bahwa kegiatan pendidikan
multiprofesi
ini dilakukan di sebuah Health Center di daerah urban yang dikelola oleh
Universitas Hawaii. Mahasiswa dari berbagai jurusan terkait belajar bersama dan
dikelompokkan dalam tim multiprofesi untuk melakukan kegiatan yang diatur oleh Health
Center
tersebut.
Pertanyaannya kemudian apakah kegiatan seperti ini bisa dilakukan pada
perguruan tinggi lain yang belum memiliki Health Center yang dikelola
pribadi oleh Universitas? Mungkinkah pendidikan multiprofesi ini dilakukan di
tempat lain, misalnya
di
rumah sakit pendidikan yang dikelola oleh universitas?
Hal yang dapat kita pelajari dari artikel ini adalah
tersedianya sarana pendidikan berupa Health Center di daerah urban,
tempat siswa melakukan kegiatan dengan profesi
lain.
Ketersediaan sarana tersebut sangat mendukung penerapan community based curriculum.
Fenomena tersebut sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada pendidikan dokter
di Indonesia. Sekarang, hampir semua fakultas kedokteran di Indonesia mengklaim
diri
menerapkan kurikulum pendidikan kedokteran mengarahkan siswa untuk menjadi tenaga
medis yang memberikan pelayanan kesehatan dasar dan menerapkan community
based curriculum. Namun, jatah waktu praktik yang diberikan kepada siswa
untuk berinteraksi dengan sarana pelayanan kesehatan dasar, seperti puskesmas,
sangat minim – pada umumnya hanya dilaksanakan pada saat rotasi bagian
Kedokteran Komunitas. Sebagian besar praktik rotasi klinik dilakukan di rumah
sakit. Dari artikel Oneha tersebut, selayaknya dapat diambil pelajaran bahwa
layanan kesehatan dasar yang berbasis pada komunitas, tempat siswa berlatih
untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar dan memahami seluk beluk pelayanan
kesehatan dasar perlu disediakan oleh penyelenggara pendidikan kedokteran dan
jatah waktu stase di layanan primer tersebut juga harus mencukupi hingga
mahasiswa dapat mengenali tugas profesionalnya di layanan primer. Jika
institusi pendidikan tidak mampu untuk mengelola sendiri, maka mereka dapat
bekerjasama dengan institusi layanan kesehatan primer yang telah ada. Kerjasama
dengan institusi layanan primer yang dikelola oleh departemen kesehatan memang
merupakan alternatif penyelesaian yang disarankan oleh Pittilo dan Ross (1998),
untuk mengatasi masalah tempat kegiatan pendidikan multiprofesi di UK. Meskipun
Multiprofesional Learning 97 demikian, pendidikan multiprofesi tersebut
sangat memungkinkan dilakukan pula dirumah sakit pendidikan maupun di tempat
pelayanan kesehatan lain, ataupun di komunitas tertentu.
Permasalahan yang urgen untuk dipertimbangkan
sesungguhnya adalah apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengambilan
kebijakan mengenai kegiatan pendidikan yang harus ditempuh oleh mahasiswa dari
berbagai jurusan atau bahkan fakultas yang berbeda tersebut dapat duduk bersama
untuk merancang kegiatan pendidikan multiprofesi ini bagi mahasiswa mereka.
Untuk menerapkan kegiatan ini, paling tidak ada dua atau tiga jurusan yang akan
saling berinteraksi, seperti fakultas kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan
kesehatan masyarakat. Apakah mereka bersedia berkolaborasi untuk
menyelenggarakan kegiatan ini, selain itu, siapakah yang harus menjadi pelopor
untuk mengajak mereka duduk dalam satu forum memikirkan konsep pendidikan
multiprofesi yang akan diterapkan untuk mahasiswa mereka? Tidak jarang pula
pada perguruan tinggi tertentu, hanya memiliki fakultas kedokteran, sehingga
tidak memungkinkan untuk melakukan pendidikan multiprofesional. Berbagai
realitas inilah yang memang kemudian menjadi kendala diterapkannya pendidikan multiprofesional
di Indonesia.
Menyadari bahwa pendekatan ini sangat bermanfaat
bagi siswa untuk memberikan pengalaman belajar dalam konteks multiprofesi,
sebagaimana yang akan mereka hadapi kelak di tempat kerja yang harus segera
diselesaikan, maka permasalahan tersebut perlu segera diselesaikan. Untuk
penerapan ketrampilan kepemimpinan dan team building, pada umumnya, institusi
pendidikan kedokteran lebih memilih untuk mengambil jalan pintas dengan memberikannya
dalam bentuk kegiatan team work di rotasi klinik dan perkuliahan, dan belum
melalui multi professional education. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Cornell
dan
Pascoe (2004) mengenai kurikulum kepemimpinan pada berbagai institusi pendidikan
dokter menunjukkan bahwa delapan dari institusi pendidikan kedokteran yang
ditelitinya, yang tergabung dalam Undergraduate Medical Education for
the 21st Century (UME-21) pada umumnya telah mengembangkan
kurikulum kepemimpinan danteam working. Secara umum, prinsip-prinsip dan
pentingnya kepemimpinan serta team work diajarkan dan diterapkan melalui
kerjasama kelompok dalam rotasi klinik. Tiga institusi pendidikan yang diteliti
mengajarkan kepemimpinan dan team working melalui 98 Vol. 3, No. 1,
Januari - Juni 2011 kegiatan pengajaran dan workshop, dan satu institusi
pendididkan dokter yang menggunakan ‘gross anatomy dissection’ sebagai
wahana untuk menerapkan konten material. Belum ada laporan mengenai pemberian
materi kepemimpinan dan team working dalam konteks pendidikan kedokteran
di Indonesia. Pengalaman kepemimpinan dan team working pada rotasi
klinik yang beranggotakan profesi yang sama, yakni mahasiswa kedokteran, tentu
berbeda dengan pengalaman kepemimpinan dan team working yang akan
dipelajari oleh mahasiswa jika mereka melakukannya dengan profesi lain. Seperti
dijelaskan oleh Orchard (2005) bahwa pengalaman praktik interdisipliner
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dengan profesi lain,
menghormati nilai-nilai dan kepakaran profesi lain,
saling
belajar, serta berbagi dalam membuat keputusan layanan – hal yang tidak mungkin
dilakukan
dalam kegiatan team satu profesi, apapun bentuknya.
Sesungguhnya, jika institusi pendidikan profesi
kesehatan, baik kedokteran, keperawatan, kesehatan masyarakat dan lain-lain,
menyadari pentingnya pengalaman tersebut bagi siswa, maka harus dicari jalan
keluar untuk mengatasi masalah sulitnya komunikasi dan kerjasama antar
institusi pendidikan tenaga medis. Salah satu pemecahannya adalah yang
dilakukan di Universitas Hawai tersebut. Jika kita telusur penjelasan Oneha
diketahui bahwa kegiatan pendidikan multidisiplin ini dikelola sepenuhnya oleh Health
Center. Mahasiswa fakultas kedokteran, keperawatan, social worker
dan kesehatan masyarakat di perguruan tinggi tersebut dikirim oleh
institusinya masing-masing untuk dikelola dan dibina oleh Health Center.
Sesungguhnya konsep ini sudah diterapkan oleh beberapa Fakultas Kedokteran di
Indonesia, yakni dengan mengirimkan mahasiswa untuk dididik di Balai Pelatihan
Kesehatan (BAPELKES) yang dikelola oleh Departemen Kesehatan. Akan sangat
bermanfaat bagi mahasiswa jika desain pendidikan di BAPELKES tersebut adalah
desain pendidikan multiprofesi bahkan interprofesi. Alternatif lain yang
mungkin lebih ideal adalah kearifan komite atau tim yang bertanggungjawab
menyusun kurikulum dari berbagai bidang, seperti kedokteran, keperawatan,
kebidanan, kesehatan masyarakat, administrasi, hukum, dan lain-lain untuk duduk
bersama merumuskan kurikulum pendidikan multiprofesional maupun
interprofesional.
Kurikulum disusun dengan mempertimbangkan bahwa kegiatan pembelajaran tersebut
dilakukan pada setting rumah sakit pendidikan, layanan Multiprofesional
Learning 99 kesehatan, maupun komunitas. Bagi perguruan tinggi yang belum
memiliki bidang studi lain yang terkait dengan bidang kedokteran, misalnya
hanya memiliki fakultas kedokteran saja, maka kegiatan multiprofesi di bidang
medis dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan institusi pendidikan lain.
Kesiapan pendidik juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
Diketahui bahwa
mahasiswa
belajar dari dosen sebagai role model. Oleh karena itu, jika pendekatan
ini hendak diterapkan, maka harus disepakati bersama pula oleh staf pengajar
bahwa merekapun hendaknya memberikan contoh perilaku kinerja multiprofesi yang
benar. Pembagian kerja, team working serta penghargaan terhadap profesi
lain juga perlu ditekankan dan dicontohkan oleh dosen. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan pentingnya role model bagi pembelajaran profesi
kedokteran (Haidet dan Stein, 2006;
Maheux et al., 2000; Matthews, 2000; Purcell,
2003). Bahkan dalam penelitiannya, Elzubair dan Rizk (2001) menjelaskan bahwa
karakteristik personal yang dipelajari dan dinilai serta dicontoh oleh
mahasiswa dari dokter sebagai pengajar antara lain adalah perilaku
penghargaan
terhadap pasien, keluarga pasien, penghargaan terhadap dan kerjasama dengan
staf dan kolega. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosen benarbenar diposisikan
oleh mahasiswa sebagai contoh, termasuk dalam konteks penghargaan terhadap
profesi lain. Untuk kepentingan ini, perlu dilakukan penyiapan khusus secara kolaboratif
oleh berbagai bidang yang akan saling bekerja sama dalam pendidikan multiprofesi
dan atau interprofesi ini.
KESIMPULAN
Dari artikel yang ditulis oleh Oneha et al.,
(2001) mengenai pendidikan multiprofesional ini memberikan banyak pelajaran
yang berharga untuk mengembangkan pendidikan dokter di Indonesia. Diskusi
mengenai manfaat pendidikan multiprofesi bagi peningkatan kepemimpinan dan team
building dengan profesi lain sudah diulas.
Pengalaman dan peningkatan skill kepemimpinan dan team
building memang bisa
dilakukan
dengan kegiatan kolaborasi dalam tim seprofesi, seperti misalnya dalam rotasi
klinik. Akan tetapi, diyakini bahwa pengalaman untuk dapat menumbuhkan pemahaman
dan penghargaan pada nilai-nilai kepakaran dari profesi pemberi pelayanan kesehatan
yang beragam, melakukan partnership antara berbagai profesi pelayan 100 Vol.
3, No. 1, Januari - Juni 2011 kesehatan dan klien dengan menggunakan
pendekatan partisipatoris, kolaboratif dan terkoordinasi untuk menyusun
keputusan seputar masalah kesehatan, hanya bisa dilakukan melalui pendidikan
multidisipliner. Persiapan yang perlu dilakukan adalah seputar penyusunan
kurikulum multiprofesi dan interprofesi, penyiapan staf pengajar dan lingkungan
pembelajaran multiprofesi dan interprofesi beserta kegiatannya. Mengingat
pentingnya pemberian pengalaman pendidikan multidisipliner ini, pimpinan
institusi pendidikan yang terkait dengan tenaga medis perlu duduk bersama untuk
merancang kegiatan bersama multidisipliner tersebut. Kegiatan tersebut dapat ditangani
oleh lembaga khusus, seperti di Health Center Universitas Hawai, atau
ditangani bersama oleh institusi pendidikan sendiri di rumah sakit pendidikan.
Salah satu institusi tersebut harus berdiri sebagai pemrakarsa, yang kemudian
mengajak institusi lain untuk duduk dan mendiskusikan masalah krusial ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Cornell,
M. dan Pascoe JM., 2004, Undergraduate Medical Education for the 21st Century:
Leadership
and Teamwork, Family Medicine, 2004, Vol. 36, January, S51-S56.
Haidet,
P., Stein, H. F., 2006, The Role of the Student-Teacher Relationship in the
Formation
of
Physicians The Hidden Curriculum as Process, J GEN INTERN MED; 21;
S16-20
Horder,
J., 2000, Leadership in multi-professional context, Medical Education,
2000 34,
203-205.
Iedema,
Y, Degeling, P, Braithwaite, J., 2004, Medical Education and Curriculum Reform:
Putting
reform proposals in context, Med Educ Online: 9:17
http://www.med-edonline.
org.
Lorente
M., Hogg G., Ker J., 2006, The challenges of initiating a multi-professional
clinical
skills
project, Journal of Interprofessional Care, June; 20(3): 290 – 301
Maclaren,
P and Marshall, S., 1998, “Who is the learner? An examination of the learner
perspectives
in Work-based learning”, Journal of Vocational Education and Training,
50
(3), 327-336
Maheux,
B., Beaudoin, C., Berkson, L., Gote, L., Marchais, J., Jean, P., 2000, Medical
faculty
as
humanistic physician and teachers: The perception of students at innovative
and
traditional medical school, Medical Education; 34: 630-634.
Matthews,
C., 2000, Role modelling: How doest it influence teaching in family medicine,
Medical
Education; 34: 443-448.
Oneha
M F, Yoshimoto CM, Bell S, Enos RN, 2001, Educating Health Profisionals in a
Community
Setting: What students Value, Education for Health, 14, (2), 256-266.
Multiprofesional
Learning 101
Orchard
AA, Curran V, and Kabene S, 2005, Creating a Culture for Interdisciplinary
Collaborative
Professional Practice, Med Ecuc Online: 10; 11, http://www.med-edonline.
org
Pittilo
RM, Ross FM, 1998, Polecies for Interprofessional Education: Current Trends in
The
UK, Education fo Health, 11 (3) 285-295
Simon,
SD., 2001, From Neo Behaviorism to Social Contructivism? The Paradigmatic Non-
Evolution
of Albert Bandura, Thesis submitted to Emory University, Downloaded
at
24-11-2006.
ANALISIS
JURNAL
1. Latar
belakang : mengembangkan ketrampilan dalam menjalani suatu profesi, apalagi
yang berhubungan dengan dunia kesehatan, tentunya tidaklah suatu hal yang
mudah. Berbagai profesi kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, dan
lainnya pasti akan bertemu dengan berbagai macam karakter pasien dengan
berbagai macam keluhan penyakit yang berbeda pula. Oleh sebab itu, profesi ini
sangat menuntut setiap pribadinya untuk memiliki sebuah ketrampilan dalam
mengembangkan ketrampilan dalam hal kepemimpinan, baik untuk memimpin diri
sendiri juga untuk memimpin organisasi yang akan dijalankan bersama-sama antar
tim kesehatan agar dapat menghasilkan sebuah “pelayanan” yang terbaik baik
pasien.
2. Tema
: ketrampilan kepemimpinan sangat membantu profesi yang berkaitan dengan dunia
kesehatan untuk membangun sebuah tim yang solid dan baik guna membantu pasien
dalam memperbaiki kualitas hidupnya.