PEKERJA SEKS KOMERSIAL

PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)
                Lelaki hidung belang adalah ncaran bagi wanita pekerja seks komersial ini. Kupu-kupu malam adalah nama yang sering diberikan untuk wanita ini. Tentunya pekerjaan yang bisa dibilang rendah ini bukanlah pilihan mereka. Mereka melakukan pekerjaan ini dikarenakan banyak faktor, antara lain yaitu faktor ekonomi. Ironis memang, melihat wanita yang seharusnya bisa menjadi inspirasi banyak orang justru menjadi makhluk yang dihina karena pekerjaannya. Wanita seharunya menjadi lambang keindahan atas kesantunannya, namun apa daya jika mereka tidak punya pilihan lain untuk tetap bertahan hidup ditengah kejamnya persaingan ibu kota. Indonesia dan warna-warni kehidupannya menjadi saksi betapa wanita si “kupu-kupu malam” ini beterbangan mencari para pria hidung belang yang tidak mempunyai iman yang kuat.


Berikut ini informasi yang saya dapatkan pada website, “http://kickandy.com/theshow/1/1/2026/read/ANCAMAN-SEKS-BEBAS-DI-KALANGAN REMAJA.html”.
Hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun BKKBN (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat. Data hasil riset BKKBN misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah. Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta.
Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya. Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB.
Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain. Yaitu  meningkatnya jumlah praktek aborsi illegal. Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini mungkin hanya salah satu implikasi masalah dari sederet persoalan yang dihadapi anak dan remaja dimasa sekarang. Sebab akibat yang ditimbulkan seperti efek domino yang dipicu dari habitat awal dimana seharusnya anak dan remaja ini tumbuh berkembang dengan sehat jasmani maupun rohani, yaitu keluarga da lingkungan.
Fakta kita hadirkan dalam episode Kick Andy kali ini. Bunga (18 tahun) remaja putri yang kini berprofesi sebagai pekerja seks komersial diantara kesibukan sekolahnya. Gadis ini pertama kali melakukan hubungan seks saat ia masih kelas satu SMU. Tindakan kebablasan itu ia lakukan dengan pacarnya. Setelah putus dari lelaki yang dipacarinya hanya 7 bulan itu, bukannya menyesal dan berhenti melakukan, ia justru terjerumus menjadi pekerja seks komersial. Meski uang sekolah dan uang jajan dari orang tuanya selalu ada (Bunga tidak tinggal serumah dengan orangtuanya), namun Bunga merasa masih perlu tambahan dalam jumlah cukup besar. Tidak hanya untuk ongkos jalan-jalan atau biaya penampilan ketika bergaul, tetapi juga untuk membeli minuman beralkohol di café-café dan bar tempat nongkrong bersama teman-temannya. Dari mulut ke mulut, jaringan dibangun, seiring makin banyak “klien” menghubunginya, bahkan diantaranya ada yang memiliki jabatan penting di negeri ini.
Fakta menyedihkan berikutnya kita dengar dari Surabaya. Vera, remaja putri usia 17 tahun. Dalam kondisi hamil tanpa suami, Vera bertindak sebagai pekerja seks komersial yang mengkoordinir teman-temannya perempuan dibawah umur. Media massa memberitakan Vera sebagai “germo cilik” yang menjajakan teman-temannya pekerja seks yang berusia belia. Padahal saat masih SMP, Vera tergolong seorang siswi cerdas yang menerima beasiswa.
Tidak hanya anak atau remaja perempuan saja yang harus selalu dikhawatirkan. Anak dan remaja laki-laki pun, harus mendapat perhatian yang sama. Kita lihat kasus Justin (20 tahun), remaja pria yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial profesional. Mengapa kami katakan demikian? Bahkan untuk menemui ataupun menghubungi dia pun kami harus melalui beberapa lapis perantara yang memang benar-benar kolega Justin. Hal tersebut memang sebagai salah satu pengaman dalam transaksinya. Justin mengakui bahwa profesi yang ia jalani saat ini tentu saja bukan profesi yang ia bayangkan akan ia lakukan. Tetapi bila mendengar kisah kecilnya, kita menjadi tahu (bukan maklum!) mengapa terjerumus dalam pekerjaan itu. Menurut pengakuannya, saat usianya 5 tahun, Justin kecil dan kawan-kawannya yang kebanyakan berusia remaja (ia selalu berteman dengan kawan-kawan yang usianya lebih dewasa dari usianya), sangat gemar menonton film dewasa. Berbekal pengetahuan dari film-film itulah, ia menjadi sangat berani meng-explorasi diri soal seks. Tak heran, hubungan seksual pertama kali ia lakukan saat ia masih duduk di bangku SD, dan ia lakukan dengan pacarnya seorang gadis kecil kelas 1 SMP. Selepas SMP di Surabaya ia nekat ke Jakarta untuk sekolah SMU, tetapi lingkungan di ibukota justru makin mematangkan imajinasi dan fantasi tentang seks dalam otak remaja pria ini. Ia akui, bahwa profesinya menuntut ia melayani siapapun dan apapun yang diinginkan oleh “klien” yang membutuhkan jasanya. Tidak cuma para wanita dewasa maupun remaja, tetapi justru kini lebih banyak “klien” laki-laki yang menghubunginya.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan memilukan para remaja ini? Ibu Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, membantu kita melihat persoalan pelik ini. Berangkat dari aktifitas YKB selama 10 tahun, Ibu Elly menjelaskan bagaimana YKB mendata, mengkoleksi, semua laporan-laporan, juga informasi dan berita di media massa, mengenai kasus-kasus penyimpangan dan kekerasan seksual yang dilakukan pada dan oleh anak maupun remaja. Beliau kemudian memberikan pemetaan persoalan bagaimana seharusnya “bencana nasional” yang menimpa generasi muda dan mengancam ketahanan negara ini bisa dicegah maupun di tanggulangi. Bagaimana seharusnya keluarga berperan terutama kedua orang tua harus bertindak? Bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap anak dan remaja di era digital ini? Juga bagaimana seharusnya orangtua menerapkan adaptasi teknologi yang benar dan aman dari racun “pornografi” pada anak-anaknya.
Sebagai contoh kasus, kita hadirkan Josh Peter, yang kita kenal di dunia entertainment dengan nama Jupiter Fortissimo. Mantan Coverboy sebuah majalah remaja yang terjebak dunia narkoba, kehidupan seks bebas, dan bahkan mengalami disorientasi seksual. Secara terbuka Josh Peter mengakui saat ia usia 6 tahun pernah mengalami pelecehan seksual oleh orang dekat yang dipercaya ibunya sebagai pengasuhnya. Ibu Josh Peter pun ikut hadir berbagi pengalaman dengan pemirsa di studio tentang kepedihannya, juga bagaimana ia mendampingi anaknya ketika berada dimasa-masa kegelapan hidup.

HUMAN TRAFFICKING

HUMAN TRAFFICKING DI INDONESIA

            Dewasa ini, permasalahan mengenai human trafficking di indonesia terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Masalah yang menjadi sorotan masyarakat ini semakin tidak dapat dikendalikan karena jumlah oknum pelaku yang semakin banyak ditambah dengan kurangnya ketegasan dari pihak yang berwajib dalam menangani masalah ini. Masalah yang berakar pada human trafficking ini mememiliki cabang yang terlalu luas yang sulit dimusnahkan. Antara lain yaitu masalah perdangangan anak, jual-beli wanita di bawah umur untuk keperluan seks komersil, serta tak jarang juga banyak dari korban yang menjadi “sumber pencari uang” di jalanandengan mengemis, mengamen, ahkan melakukan kejahatan lain yang berbau kriminal.
            Human Trafficking (Perdagangan Manusia) saat ini bagaikan isu yang mengapung dan terkadang tenggelam dalam kehidupan masyarakat serta dinamika kenegaraan kita. Padahal, kejadian-kejadian penjualan manusia saat ini boleh dibilang sudah memasuki masa krisis. Apalagi, penyebaran dan perlakuannya sudah semakin berbahaya bahkan karena korban paling potensial adalah wanita muda dan anak-anak. Apa yang bisa dilakukan untuk menghentikannya?
Seperti diketahui, human trafficking muncul sebagai salah satu konsekuensi yang permasalahan mendasarnya berasal dari beberapa hal, semisal keadaan ekonomi (ini yang paling sering), praktik-praktik penyalahgunaan wewenang semisal di dunia kedokteran, ataupun tingkat kelahiran tak diinginkan dan juga kepadatan penduduk yang semakin tinggi.
Di dunia internasional, istilah human trafficking atau perdagangan manusia muncul diterminologikan oleh PBB dengan pengertian sebagai: perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi (Protokol PBB tahun 2000 untuk mencegah, menanggulangi, dan menghukum Trafficking terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Dalam tulisan yang diterbitkan oleh International Development Law Organization (IDLO) bersana Pengadilan Tinggi Banda Aceh antara tahun 2007 hingga 2008 disebutkan bahwa meskipun kasus trafficking tidak didominasi oleh korban dari kaum perempuan dan anak-anak, ada kecenderungan korban trafficking adalah perempuan dan anak-anak.
Kecenderungan daerah rawan human trafficking adalah tingkat keamanan rendah dengan tingkat potensi konflik dan krisis dalam negeri tinggi. Ditambah lagi, jika tingkat kemiskinan tidak terkendali dan transportasi luar negeri cenderung sangat longgar, maka daerah atau negara semacam ini merupakan “sasaran empuk” praktik trafficking. Saat ini hampir di semua negara sudah terjadi kasus seperti ini dan menunjukkan angka kekhawatiran yang terus meningkat tiap tahunnya.
Di Indonesia sendiri, potensi penyalahgunaan manusia ini masih mengkhawatirkan dan termasuk negara pantauan dewan terkait PBB. Pusat informasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI merilis catatan bahwa per-Oktober 2008, total kasus perdagangan manusia di Indonesia sebanyak 3.222, dengan 2.409 kasus dengan korban kalangan dewasa, sedangkan sebanyak 808 kasus mengorbankan anak-anak. Sedangkan presentase keseluruhan perbandingan gender-nya adalah 89.7% dari keseluruhan korban adalah perempuan dan 10.83% korban laki-laki.
Secara regional, pendataan kasus perdagangan manusia di Indonesia ini menempatkan provinsi Kalimantan Barat pada jumlah terbanyak yaitu 709 kasus, disusul Jawa barat dengan 682 kasus, dan Jawa Timur sebanyak 400 kasus. DKI Jakarta sendiri tercatat menyimpan kasus yang relatif berjumlah sedikit yaitu 44 kasus.
Sudah menjadi kecenderungannya bahwa kasus perdagangan manusia ini banyak dilakukan antarnegara bahkan antarregional. Malaysia saat ini masih menempati negara urutan pertama tujuan perdagangan manusia ini (mungkin juga terkait kasus pengiriman TKI puluhan tahun terakhir ini). Indonesia sendiri berada di posisi kedua, disusul Arab Saudi dan Singapura.
Dalam praktiknya, kebanyakan penyasaran perdagangan manusia ini adalah untuk dipekerjakan pada daerah atau negara tujuannya. Tidak hanya korban dewasa, bahkan oleh para pelakunya korban anak-anakpun di-”potensial”kan untuk menjadi pekerja atau istilahnya child labor. International Labor Organization (ILO) memperkirakan di seluruh dunia terdapat 246 juta anak dipekerjakan dan dieskpolitasi dengan kisaran umur 5 hingga 7 tahun, dengan beberapa kelompok pekerjaan seperti penagih hutang, perekrutan militer, prostitusi dan pornografi, penyalahgunaan obat-obatan, bahkan perdagangan senjata. Ribuan anak dari Asia, Afrika, dan Amerika selatan dijual untuk perdagangan sex setiap tahunnya. Kebanyakan dari mereka diculik atau ditipu, namun sebagian lagi jelas-jelas diperdagangkan oleh orangtua mereka sendiri.
Melihat kejadian ini yang sungguh ironis, berbagai badan kemanusiaan dunia menyatukan misi untuk menekan dan menghapuskan perdagangan manusia ini. Pada tahun 2003 di Eropa OSCE (Organization for Security and Co-Operaion in Europe)mendirikan mekanisme anti-perdagangan manusia dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan publik terhadap kasus ini serta membentuk kelompok-kelompok nasional termasuk partai yang menyertakan program ini dalam visi organisasi mereka. Beberapa organisasi non-pemerintah mulai bermunculan hingga saat ini dalam misi penanggulangan Human Trafficking seperti Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (ABAST)di Los Angeles, Catalyst Resources Network, The SOLD Project, Alliance Anti Traffic (AAT), dan juga Woman Against Slavery.
Bagaimanapun juga, dunia akan terus mengintensifkan pengawasan serta penanggulangan salah satu kejahatan tersistematis seperti ini. Saat ini kerjasama terintegrasi di seluruh dunia masih membuka lebar pintu bagi kita untuk meniadakan perdagangan manusa dan juga perbudakan dari atas bumi ini. Tidak mudah memang, namun kebersatuan tekad dan usaha kita sekecil apapun akan bisa membawa perubahan baik dalam menjanjikan kelangsungan serta keadilan hidup bagi sesama, termasuk wanita dan anak-anak.

Sumber :

cinta tanah air


CINTAI PRODUK DALAM NEGERI ( oleh : Hertyn Frianka)
            Mungkin anda tidak asing lagi melihat gambar diatas, sebenarnya, apakah maksud yang terkandung dalam tulisan tersebut?mungkin, banyak dari kita yang belum memahami tujuan dari tulisan yang bersifat persuasif tersebut. Saya akan mencoba memaparkannya kepada khalayak dengan sedikit pengetahuan yang saya ketahui tentang cinta tanah air alias Nasionalisme.
Bagi saya, mencintai produk dalam negeri berarti anda ikut memberikan sumbangsi yang besar bagi bangsa ini. Produk yang diciptakan oleh anak bangsa adalah harta karun tersendiri bagi bangsa ini. Melihat potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak bangsa, tidak heran jika sudah banyak hasil-hasil industri rumah tangga maupun industri kecil menengah bahkan industri besar menciptakan berbagai produk inovatif yang tidak kalah dalam segi kualitasnya dengan merk dagang luar negeri. Tingkat kreativitas yang dibuat pun tidak kalah dengan produk impor, hal ini dikarenakan para anak bangsa telah menyadari bahwa dengan menggunakan produk ciptaan bangsa sendiri turut memberikan sumbangsi baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan aspek-aspek lainnya yang tentunya bernilai positif bagi bangsa kita.
Namun, sekarang ini permasalahannya bukanlah variasi produk dalam negeri yang terbatas tetapi konsumen dalam negeri masih menganggap “rendah” kualitas barang ciptaan dalam negeri. Hal ini dikarenakan tingginya faktor arogansi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka berpikir bahwa nilai sosial yang akan mereka dapatkan jauh lebih tinggi jika mereka menggunakan merek luar negeri. Padahal, pada kenyataannya, kualitas barang negeri juga memiliki kualitas yang baik. Masalah ini tentu menjadi parasit dalam daging bagi bangsa ini. Paradigma masyarakat yang telah menganggap bahwa merek adalah segalanya sangat sulit dielakkan dan diubah.
Dengan adanya masalah-masalah yang telah berakar ini, maka beberapa produk dalam negeri misalnya pakaian, menemukan beberapa macam trik agar konsumen tertarik dan memercayai bahwa produk lokal pun tidak kalah bersaing dengan produk impor. Salah satu cara sederhana yang mereka lakukan seperti misalnya diadakannya acara “Jakarta Fashion Week” serta baru-baru ini digelar pula acara fashion bertaraf nasional “Indonesia Fashion Week”. Kedua acara ini menyajikan berbagai macam produk pakaian lokal yang dirancang oleh designer lokal. Dengan diadakannya acara ini, diharapkan konsumen dapat lebih membuka mata dalam memberikan penilaian terhadap produk lokal. Acara ini menampilkan kreatifitas para designer lokal dalam merancang busana yang juga tidak kalah up to date dengan mode yang sedang berkembang saat ini.
Mencintai dan menggunakan produk dalam negeri merupakan contoh sederhana dalam mencintai tanah air sebab menghargai hasil karya anak bangsa adalah suatu anugerah yang sangat besar dan patut disyukuri. Memang pada awalnya akan sangat sulit untuk menrealisasikan kegiatan yang mungkin dapat dikatakan sepele ini karena paradigma yang sudah terbentuk di alam bawah sadar kita yang menyatakan bahwa produk impor adalah produk yang terbaik. Namun, setelah kita mencoba mempelajari apa yang sedang terjadi saat ini pada bangsa kita dan bagaimana anak bangsa kita memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan potensinya, maka saya percaya kita akan dapatmengubah sedikit demi sedikit paradigma tersebut.
Selama ini,pemerintah telah ramai memberikan slogan “cintai produk dalam negeri” baik di berita maupun di iklan-iklan. Hal ini tentunya tidak beralasan, dengan menggunakan produk dalam negeri kita dapat meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan serta mencerdaskan kreativitas anak bangsa, mengembangkan usaha kecil dan menengah yang diciptakan oleh masyarakat yang diiringi dengan tersedianya lapangan kerja yang baru bagi masyarakat indonesia. Dengan terbukanya kesempatan lapangan kerja yang banyak di negeri ini, maka kita tidak perlu mengirimkan banyak TKI ke luar negeri sehingga kasus kekerasan WNI yang bekerja di luar negeri dapat ditanggulangi.