Etika dan tata krama harus dipenuhi dalam segala
aktivitas periklanan maupun kegiatan komunikasi pemasaran lainnya, hal ini
penting untuk mendapatkan respon positif berupa penerimaan ataupun dukungan
terhadap produk, merek dan perusahaan, khususnya dari konsumen. Usaha usaha
pemasaran yang tidak memenuhi etika tatakrama akan mendapatkan reaksi penolakan
dari khalayak yang selanjutnya sangat mungkin bisa menimbulkan respon negatif
dari konsumen.
Dalam ettika periklanan dikenal prinsip Swakramawi (self-regulation)
atau pengaturan diri sendiri, adalah suatu prinsip atau paham yang dianut oleh
mayarakat periklanan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan tidak
hanya pada kode etik periklanan prinsip ini diterapkan, namun juga di banyak
kode etik profesi maupun kode etik bisnis lainnya. Pada awal dikenalnya
swakramawi, sepenuhnya adalah dimaksudkan untuk melindungi pelaku perniagaan
dari persaingan yang tidak adil atau tidak sehat. Tujuan ini kemudian
berkembang seiring dengan ketatnya persaingan dan kian kuatnya gerakan
konsumerisme sehingga kini swakramawi lebih banyak ditujukan untuk melindungi
konsumen. Secara sederhana, tujuan penerapan prinsip swakramawi adalah: untuk
dapat dengan sebaikbaiknya mempertahankan kewibawaan komunikasi pemasaran –
termasuk periklanan – demi kepentingan semua pihak.
Beberapa prinsip swakramawi yang diserap
oleh kebanyakan kode etik periklanan di
berbagai negara yang dalam tatakrama periklanan disebut azas umum
tatakrama periklanan
Indonesia adalah:
1.
Jujur, bertanggungjawab, dan
tidak bertentangan dengan hukum negara.
2.
Sejalan dengan nilai-nilai
sosial-budaya masyarakat.
3.
Mendorong persaingan, namun dengan cara-cara
yang adil dan sehat (dijiwai persaingan yang sehat).
Dari tiga azas umum tatakrama periklanan
Indonesia tersebut yang berkaitan dengan persaingan adalah bahwa iklan harus
jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan
iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat. Implementasi dari azas yang
berkaitan dengan persaingan tersebut di antaranya adalah:
1.
Dari sisi bahasa, iklan
tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif (berlebihan) seperti
"paling", "nomor satu", "top", atau kata-kata
berawalan "ter-", dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas
menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
2.
Penggunaan kata
"100%", "murni", "asli" untuk menyatakan sesuatu
kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, harus dapat dibuktikan
dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
3.
Penggunaan Kata
"Satu-satunya". Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata
"satusatunya" atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan
dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus
dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
4.
Hiperbolisasi, boleh
dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau
humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak
menimbulkan salah persepsi dari khalayak sasarannya.
5.
Iklan yang baik tidak mengadakan perbadingan
langsung dengan produk-produk saingannya. Apabila perbandingan semacam ini
diperlukan, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas. Konsumen tidak
disesatkan oleh perbandingan tersebut.
6.
Perbandingan langsung dapat
dilakukan, namun hanya terhadap aspek-aspek teknis produk, dan dengan kriteria
yang tepat sama. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka
metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas.
Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi
dari organisasi penyelenggara riset tersebut.
7.
Perbandingan tak langsung
harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan khalayak.
8.
Perbandingan Harga.
Perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan
penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang
memadai.
9.
Tidak Merendahkan. Iklan
tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam PP RI No.69 Th 1999 tentang label dan iklan pangan juga disebutkan bahwa
iklan pangan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan/atau
disebarluarkan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan
lainnya.
10. Peniruan iklan. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan
produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing,
ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi
baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun
eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek,
logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik
baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain dan properti.
11. Peniruan iklan. Iklan tidak
boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih dulu digunakan oleh
sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun
terakhir.
12. Penempatan
iklan. Media wajib memisahkan sejauh mungkin penempatan iklan-iklan dari produk
yang sejenis atau bersaing. Kecuali pada program, ruang, atau rubrik khusus
yang memang dibuat untuk itu.
13. Monopoli. Monopoli waktu/ruang/lokasi iklan
untuk tujuan apa pun yang merugikan pihak lain tidak dibenarkan.
14. Media
Luar-Griya (out-of-home media). Iklan luar griya tidak boleh ditempatkan
sedemikian rupa sehingga menutupi sebagian atau seluruh iklan luar griya lain
yang sudah lebih dulu ada di tempat itu, dan iklan tidak boleh ditempatkan
bersebelahan atau amat berdekatan dengan iklan produk pesaing.
15. Klaim
sebagai yang pertama, dalam hal apa pun, harus disertai penjelasan bukti yang mendukung
pernyataan yang dimaksud.
16. Iklan
Promosi Penjualan. Iklan mengenai undian, sayembara, maupun hadiah langsung yang
mengundang kesertaan konsumen, harus secara jelas dan lengkap menyebut syarat-syarat
kesertaan, masa berlaku, dan tanggal penarikan undian, serta jenis dan jumlah hadiah
yang ditawarkan, maupun cara-cara penyerahannya, wajib mencantumkan izin yang
berlaku.
17. Iklan
promosi penjualan mencantumkan penawaran rabat, potongan, atau diskon harga, maka
ia harus benar-benar lebih rendah dari harga sebelumnya, bukan karena telah didahului
dengan menaikkan harga.
18. Iklan
hadiah langsung tidak boleh mensyaratkan "selama persediaan masih
ada" atau ungkapan lain yang bermakna sama dan jika dicantumkan nilai
rupiah dari barang hadiah, haruslah benar-benar sesuai dengan harga pasar yang
berlaku.
19. Pemakaian
Kata "Gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh
dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain.
Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan
jelas.
20. Janji
Pengembalian Uang (warranty). Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian
uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan
konsumen, maka syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara
jelas dan lengkap,antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan
jangka waktu berlakunya pengembalian uang. Pengiklan wajib mengembalikan uang
konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
d
sumber : Etika Persaingan dalam Periklanan, Makmun Riyanto, Staf pengajar pada Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
0 comments:
Posting Komentar