analisis jurnal 7


ANALISIS JURNAL
Menumbuhkan Ketrampilan Kepemimpinan dan Team-Building serta Penghargaan terhadap Profesi Lain Melalui Interprofessional Education Analisis Kemungkinan Penerapannya Pada Fakultas Kedokteran di Indonesia

Fostering Medical Students’ Leadership and Team Building Skills and Respect toward Other Health Profession through Inter-Professional Education
Analysis of Its Possible Application in Indonesian Medical Schools
Endang Lestari1*

1.      Latar belakang : mengembangkan ketrampilan dalam menjalani suatu profesi, apalagi yang berhubungan dengan dunia kesehatan, tentunya tidaklah suatu hal yang mudah. Berbagai profesi kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, dan lainnya pasti akan bertemu dengan berbagai macam karakter pasien dengan berbagai macam keluhan penyakit yang berbeda pula. Oleh sebab itu, profesi ini sangat menuntut setiap pribadinya untuk memiliki sebuah ketrampilan dalam mengembangkan ketrampilan dalam hal kepemimpinan, baik untuk memimpin diri sendiri juga untuk memimpin organisasi yang akan dijalankan bersama-sama antar tim kesehatan agar dapat menghasilkan sebuah “pelayanan” yang terbaik baik pasien.
2.      Tema : ketrampilan kepemimpinan sangat membantu profesi yang berkaitan dengan dunia kesehatan untuk membangun sebuah tim yang solid dan baik guna membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidupnya.
3.      Kerangka penelitian : Inter-professional learning menjadi issu nasional dalam bidang pendidikan kedokteran. Berbagai diskusi dilakukan di beberapa perguruan tinggi, untuk mengkaji kemungkinan penerapan pendekatan multiprofesi dalam bidang kesehatan tersebut. Berikut adalah review terhadap salah satu artikel mengenai multiprofesional learning dalam bidang medis serta membahas berbagai implikasi yang dapat dipelajari dari artikel tersebut bagi pengembangan pendidikan kedokteran di Indonesia.
4.      Teori : Yang dimaksud multiprofesional adalah profesi dari berbagai disiplin seperti misalnya dokter, perawat, pekerja sosial, kesehatan masyarakat yang duduk bersama dan bekerja sama dalam satu tim untuk mengidentifikasi dan menerapkan program pelayanan kesehatan masyarakat. Kurikulum multiprofesional ini diterapkan bagi siswa di Universitas Hawai. Tujuan dari penerapan kurikulum tersebut adalah menyusun model pendidikan kesehatan yang berorientasi pada komunitas untuk berbagai profesi kesehatan. Siswa dari berbagai jurusan melakukan kegiatan dalam satu tim interdisipliner, maksudnya mereka bekerja bersama, menentukan kebijakan, tujuan kegiatan secara tim. Bedanya dengan tim multidisipliner adalah bahwa tim tersebut terdiri dari anggota dari berbagai bidang, kemudian bekerja dengan tujuan masing-masing, bukan satu tujuan tim. Proyek yang diberikan kepada tim interdisipliner ini adalah menyelesaikan masalah kesehatan di daerah pinggiran. Sebelumnya mereka mendapatkan pendidikan interdisipliner di daerah pinggiran Virginia. Keuntungan yang didapat dari kegiatan ini Multiprofesional Learning 91 adalah bahwa (1) mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi peran yang harus dilakukan masing-masing profesi, yang selanjutnya dapat menumbuhkan rasa hormat kepada profesi lain (2) memberikan apresiasi pada dimensi kultural dengan cara hidup bersama di komunitas tempat meeka bertugas, dan mengikuti berbagai kegiatan kemunitas, (3) menghormati kelebihan dan kontribusi masing-masing disiplin untuk menyelesaikan masalah tim (4) memiliki pengalaman bekerjasama dengan profesi lain. Penelitian tersebut sangat menarik dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat mengenai pengaruh positif penerapan kurikulum community basedmultiprofessional bagi pendidikan kedokteran.
5.      Hipotesis : dasar konstruktivisme yang melandasi penerapan pendekatan   pembelajaran antara lain:
a. Belajar adalah proses aktif, dan pengalaman sangat mempengaruhi berarti atau tidaknya sebuah informasi.
b. Konsep yang dimiliki seseorang akan berkembang seiring dengan negosiasi makna dan berbagi pandangan dari berbagai perspektif. Perubahan representasi internal terjadi melalui kegiatan belajar kelompok.
c. Belajar harus disesuaikan dengan situasi yang nyata, yang akan dihadapi oleh pembelajar kelak.


analisis jurnal 6


Analisis jurnal :
Communication failures in the operating room: an observational classification of recurrent types and effects by L Lingard, S Espin, S Whyte, G Regehr, G R Baker, R Reznick, J Bohnen, B Orser, D Doran, E Grober.

1.      Tema : kesalahpahaman dalam mendiskusikan sesuatu dalam sebuat forum seringkali terjadi sebab banyak orang yang terkadang tidak memahami makna dan tujuan yang diinginkan bersama dalam suatu forum. Hal ini menjadi fenomena yang sedikit menjadi penghalang bagi terwujudnya sebuah diskusi yang benar-benar menghasilkan hasil kepentingan bersama
2.      Latar belakang : banyak tipe orang dan berbagai macam masalah yang muncul disekitar kita menyebabkan kita seringkali menyalahkan berbagai belah pihak yang berada dalam satu forum. Sehingga apa yang seharusnya menjadi tujuan saat mendiskusikan sesuatu maslah justru menjadi masalah baru bagi forum.
3.      Kerangka penelitian : penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode wawancara dengan sekelompok tim kesehatan serta hasil dari observasi dari penulis terhadap tim kesehatan dalam sebuah universitas maupun yang terdapat di rumah sakit. Yang menjadi kerangka berpikir dalam tulisan ini yakitu bagaimana Profesi yang berbeda yang bekerja di Tim Kesehatan akan memiliki berbagai keterampilan, keahlian pengetahuan, dan pengalaman. Terapi kolaboratif yang dilakukan oleh tenaga medis menyatakan bahwa tidak ada penyedia tunggal atau disiplin yang mampu memenuhi semua kebutuhan dalam terapi kesehatan pada satu individu. Dengan adanya kesempatan untuk mengembangkan program-program yang semakin kompleks dalam Tim Kesehatan, maka keterampilan dan ilmu yang dimiliki oleh tenaga medis dari berbagai disiplin ilmu perlu dimanfaatkan dan diintegrasikan ke dalam suatu satuan tim kesehatan.
4.      Teori : Kesepakatan Kerja Ontario Medical Association memberikan definisi berikut mengenai hubungan kolaboratif: " memerlukan tenaga medis menggunakan keterampilan yang lengkap untuk bekerja sama dalam memberikan perawatan kepada pasien berdasarkan prinsip saling percaya, menghormati, Sebuah hubungan kolaboratif dan memahami masing-masing keterampilan dan pengetahuan orang lain. Melibatkan pembagian peran dan tanggung jawab yang disepakati bersama yang mungkin berbeda sesuai dengan karakter profesi dan keahlian dari individu-individu. Hubungan harus bermanfaat bagi tenaga medis dan pasien.”
5.      Hipotesis :
Manfaat Kolaborasi
·         Untuk Pasien
a.       Meningkatkan pelayanan dengan meningkatkan koordinasi pelayanan, terutama untuk masalah-masalah yang kompleks.
b.      Mengintegrasikan pelayanan kesehatan untuk berbagai macam masalah dan kebutuhan.
·         Untuk dosen dan mahasiswa
a.       Memupuk apresiasi dan Untuk Dosen dan Mahasiswa
b.      Menawarkan pemahaman tentang disiplin ilmu lainnya.
c.       Sebagai rancangan strategi untuk praktek masa depan.
d.      Meningkatkan partisipasi siswa.
·         Untuk Penyuluh Kesehatan
a.       Meningkatkan potensi untuk penyuluhan kesehatan yang lebih efisien.
b.      Memaksimalkan sumber daya dan fasilitas.
c.       Menurunkan beban pada fasilitas perawatan sebagai akibat dari peningkatan pencegahan penyakit.

softskill


Sebanyak 45 jadwal perjalanan KRL yang terganggu, akibat anjloknya KRL Commuter Line 435 di Stasiun Cilebut, Bogor, Kamis (4/10/2012). Jumlah tersebut, merupakan setengah dari jadwal perjalanan KRL setiap harinya. Sementara kereta anjlok diduga lantaran adanya rel yang patah.  "Sedikitnya 45 jadwal perjalanan KRL akan terganggu, itu merupakan setengah dari total perjalanan KRL setiap harinya yang kami berangkatkan," kata Kepala Humas DAOPS I PT Kereta Api Indonesia (KAI) Mateta Rijalulhaq di Cilebut, Bogor.  Mateta mengungkapkan, akibat terganggunya perjalanan KRL tersebut, pihaknya dengan sangat menyesal meminta kepada para calon pengguna KRL untuk menggunakan moda transportasi lain.  "Kami sarankan menggunakan transportasi lain, seperti angkot atau naik KRL dari Stasiun Bojonggede. Karena, kami belum tahu sampai kapan bisa kembali normal, kami tetap berharap secepatnya," ujarnya. Dia juga menduga KRL tersebut anjlok karena adanya rel yang patah. Namun, menurutnya, hal tersebut masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Padahal, kita mengetahui bahwa kenaikan harga kereta listrik, pasti hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat disayangkan karena banyak konsumen yang sering menggunakan jasa kereta listrik menjadi kecewa atas fenomena kenaikan harga dan anjloknya kereta ini. Banyak konsumen, termasuk saya yang mengeluhkan harga yang naik ini. Harga yang naik sebenarnya tidak menjadi hal yang besar asalkan pelayanan yang diberikan pun bertambah baik.
Hari ini, Senin (1/10/2012), menjadi hari kelabu bagi Tofani, mahasiswa Binus. Pasalnya, pengguna setia kereta api listrik (KRL) itu harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiket kereta comumterline Jabodetabek (KCJ). Sebab, terhitung mulai Senin (1/10/2012) ini, tarif KRL AC dinaikkan hingga Rp 2000 per satu tujuan. Untuk tujuan Tanah Abang-Serpong dari Rp 6.000 menjadi Rp 8.000. Tarif ini juga berlaku untuk tujuan Tanah Abang-Bogor dari Rp 7.000 menjadi Rp 9.000.
            "Bagi saya ini tidak masuk akal. Saya mahasiswa harus membayar mahal untuk KRL yang tidak nyaman sama sekali," katanya, ketika ditemui di Stasiun Sudimara, Jakarta.  
Dia mengatakan, butuh tambahan pengeluaran ongkos transportasi jika harus menambah Rp 2.000. "Saya dari stasiun harus naik angkot lagi. Jadi minimal Rp 10.000 saya bayar sekali jalan," kata warga Pamulang 2 ini. Hal senada ditegaskan Rian. Pekerja kantoran di bilangan Sudirman ini mengaku, kenaikan tarif KRL Commuterline tidak sejalan dengan pelayanannya. "AC kereta sering mati. Belum lagi kalau berangkat kerja atau pulang selalu numpuk di kereta," katanya.
Oleh karena itu, kedua KRL mania itu meminta rencana kenaikan tarif KRL AC itu dibatalkan. Senada dengan Tofani dan Rian, kenaikan tarif ini juga ditentang oleh sebagian besar komunitas KRL Mania. Seperti ditegaskan oleh moderator KRL Mania, sejumlah pihak juga cenderung tidak sepakat dengan kenaikan tarif KRL.
"Mulai Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, anggota Komisi V DPR RI, Gubernur Jawa Barat, Komas HAM dan banyak lagi yang cenderung tidak sepakat dengan kenaikan tarif KRL," kata Nurcahyo seperti ditulis dalam rilis yang diterima Gatranews hari ini. Selain itu, YLKI, Masyarakat Transportasi Indonesia, Asosiasi Penumpang Kereta, termasuk kalangan akademisi seperti BEM UI dan sejumlah lembaga lain juga tidak setuju kenaikan tarif KRL.
Karena itu, menurut Nurcahyo, dukungan dari pengguna KRL untuk menolak kenaikan tarif tanpa kejelasan jaminan peningkatan keselamatan dan kenyamanan pelayanan juga telah terlihat. Survei yang digunakan PT KAI dengan melibatkan satu lembaga yang dipilihnya, LM FEUI, juga dianggap tidak menggambarkan aspirasi penumpang.
Nurcahyo menjelaskan dampak dari kenaikkan tarif ini, para pengguna KRL non subsidi akan kembali memenuhi KRL ekonomi. Perpindahan penumpang tersebut disebabkan penumpang merasa dirugikan, terutama yang jaraknya dekat. “Sekarang dari Serpong saja, banyak yang beralih dari commuter line ke kereta ekonomi, jadi siap-siap saja KRL menjadi tambah tidak manusiawi,’ jelasnya.
Pada kenyatannya, KRL ekonomi mulai dihilangkan pelan-pelan, sehingga mau tidak mau para penumpang harus naik commuter line. “Secara sistematis kita pikir tidak adil, kalau mau melakukan penyelesaian step by step harus diselesaikan terlebih dahulu masalah e-ticketing, dimana dari tahun 2009 belum selesai,” ungkapnya.
Nurcahyo mernambahkan dari pihaknya akan melakukan aksi demonstrasi apabila tuntutan para penumpang tidak diakomodir. “Kita lihat sebulan dua bulan janji-janji mereka bener nggak omongannya, selain itu kita menuntut standar pelayanan minimum, seperti AC nya nyala, keterlambatan jangan parah, masalah keamanan dan gangguan segala macam penumpang ada kompensasinya,” tutupnya.
Agar tidak terjadi keributan, KRL Mania pun mendesak Menteri Perhubungan, EE Mangindaan,  Dirjen Perkeretaapian, Tundjung Inderawan, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, Direktur PT. KAI, Ignasius Jonan, dan Ketua Komisi V - DPR RI, Yasti Soepredjo Mokoagow, untuk  segera turun tangan dan melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan kemelut kenaikan tarif KRL ini.
Semua itu dilakukan untuk membuat KRL Jabotabek menjadi transportasi umum yang terjangkau dan layak dalam keselamatan dan kenyamanan perjalanan. Masyarakat pengguna KRL Jabotabek sama pentingnya dengan pengguna jalan yang disubsidi melalui harga BBM oleh Pemerintah.
"Subsidi itu lebih bermanfaat untuk peningkatan pelayanan KRL sehingga bisa menekan atau mengurangi penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya," katanya.
Sementara itu, pihak operator KRL beralasan kenaikan tarif diperlukan untuk meningkatkan sarana dan prasarana transportasi kereta api yang ada saat ini. "Selain itu, PT KAI (persero) meningkatkan tarif kereta api untuk perbaikan infrastruktur dan meningkatkan volume angkutan," kata Direktur Operasi PT KCJ Apriyono.
Toh sejak awal, rencana menaikkan tarif KRL itu tidak disepakati pihak-pihak terkait. Anggota Komisi V DPR, Arwani Thomafi, menilai rencana menaikkan tarif kereta listrik (KRL) AC atau Commuter Line sangat memberatkan masyarakat. Apalagi jika PT. KCJ (KAI Commuter Jabodetabek) menaikkan tarif dengan alasan untuk menutup biaya investasi penambahan kereta. "Hemat saya,seharusnya investasi penambahan sarana tidak dibebankan langsung kepada masyarakat," tegas Arwani, Kamis (27/9/2012).
Menurut politisi PPP ini kenaikan tarif commuter line perlu ditunda untuk menghindari hal-hal yang kontra produktif. "Diperlukan kearifan dari semua stakeholders dan sejalan dengan tujuan tersedianya angkutan massal yang nyaman dan terjangkau masyarakat," kata Arwani.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun mengkhawatirkan terjadinya konflik jika kenaikan tarif commuter line tetap dipaksakan. "Jika penolakan terlalu kuat, berpotensi terjadi konflik," kata Komisioner Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simeulue, Ahad (30/9/2012). Karena itu, Komnas HAM akan memonitor perkembangan di lapangan ihwal dampak kenaikan ini bagi penumpang kereta api.
Syafrudin menegaskan, PT KCJ tidak menghadiri mediasi yang dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam pertemuan sebelumnya, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan sudah mengusulkan agar kenaikan tarif ini ditunda hingga awal Januari. Dalam rentang waktu tersebut, para pihak berdiskusi untuk memformulasikan berapa kenaikan tarif yang sebaiknya diberlakukan.
Namun, kata Syafrudin, PT KCJ sengaja tidak hadir dalam pertemuan tersebut karena tidak ingin terikat dengan kesepakatan. Karena itulah, PT KCJ dinilai memaksakan pemberlakuan kenaikan tarif kepada pengguna. "Mereka sengaja menghindar dari pertemuan," ujarnya.
Menurut Syafrudin, kenaikan tarif akan berdampak besar bagi pengguna KRL, khususnya dari kalangan kelas menengah ke bawah. Kenaikan ini juga menjadi tidak adil karena berlaku di semua rute. Padahal, ada sejumlah penumpang yang tidak menempuh jarak terjauh dalam satu perjalanan kereta api. "Masak harus disamaratakan," ujarnya.
Komnas HAM menegaskan, mereka tidak akan mengintervensi kenaikan yang dilakukan oleh operator. Namun, Syafrudin meminta kenaikan ini tidak menimbulkan persoalan di tingkat konsumen. Karena itulah, dia menegaskan, penundaan adalah solusi paling efektif untuk menyelesaikan polemik ini. Menurut dia, semua pihak selayaknya duduk bersama agar tidak ada yang merasa dirugikan dalam persoalan ini. "Kami siap memfasilitasi kembali," ujarnya

analisis jurnal 5


Analisis jurnal :
Communication failures in the operating room: an observational classification of recurrent types and effects by L Lingard, S Espin, S Whyte, G Regehr, G R Baker, R Reznick, J Bohnen, B Orser, D Doran, E Grober.

1.      Tema : kesalahpahaman dalam mendiskusikan sesuatu dalam sebuat forum seringkali terjadi sebab banyak orang yang terkadang tidak memahami makna dan tujuan yang diinginkan bersama dalam suatu forum. Hal ini menjadi fenomena yang sedikit menjadi penghalang bagi terwujudnya sebuah diskusi yang benar-benar menghasilkan hasil kepentingan bersama
2.      Latar belakang : banyak tipe orang dan berbagai macam masalah yang muncul disekitar kita menyebabkan kita seringkali menyalahkan berbagai belah pihak yang berada dalam satu forum. Sehingga apa yang seharusnya menjadi tujuan saat mendiskusikan sesuatu maslah justru menjadi masalah baru bagi forum.

Prinsip
Kesepakatan Kerja Ontario Medical Association memberikan definisi berikut mengenai hubungan kolaboratif:
"Sebuah hubungan kolaboratif memerlukan tenaga medis menggunakan keterampilan yang lengkap untuk bekerja sama dalam memberikan perawatan kepada pasien berdasarkan prinsip saling percaya, menghormati, dan memahami masing-masing keterampilan dan pengetahuan orang lain. Melibatkan pembagian peran dan tanggung jawab yang disepakati bersama yang mungkin berbeda sesuai dengan karakter profesi dan keahlian dari individu-individu. Hubungan harus bermanfaat bagi tenaga medis dan pasien.”
Tujuan
"Kolaborasi dalam Tim Kesehatan" mengacu pada inisiatif atau kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antar profesi yang berbeda dalam satu rumpun kesehatan untuk bekerja sama dalam kemitraan yang ditandai dengan:
·         Memiliki tujuan bersama,
·         Pengakuan dan penghormatan terhadap kemampuan dan spesialisasi masing-masing,
·         Adil dan efektif dalam pengambilan keputusan,
·         Fokus pada pasien, dan
·         Komunikasi yang jelas dan teratur.
Manfaat
Hal ini memungkinkan "pengetahuan yang berbeda maupun yang sama antar profesi yang berbeda untuk bekerja secara sinergis untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada setiap pasien dan untuk meningkatkan akses ke berbagai pelayanan kesehatan yang komprehensif, berkualitas tinggi, dan terapi yang efektif". Tujuannya adalah untuk memberikan terapi oleh tenaga medis, waktu, tempat yang tepat, dengan tujuan keseluruhan untuk  meningkatkan kualitas hidup pasien.
Profesi yang berbeda yang bekerja di Tim Kesehatan akan memiliki berbagai keterampilan, keahlian pengetahuan, dan pengalaman. Terapi kolaboratif yang dilakukan oleh tenaga medis menyatakan bahwa tidak ada penyedia tunggal atau disiplin yang mampu memenuhi semua kebutuhan dalam terapi kesehatan pada satu individu. Dengan adanya kesempatan untuk mengembangkan program-program yang semakin kompleks dalam Tim Kesehatan, maka keterampilan dan ilmu yang dimiliki oleh tenaga medis dari berbagai disiplin ilmu perlu dimanfaatkan dan diintegrasikan ke dalam suatu satuan tim kesehatan.
Tim kesehatan yang berfungsi dengan baik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kolaborasi yang efektif. Membangun tim seperti ini membutuhkan waktu, sebagai anggota tim dengan latar belakang yang berbeda dan perspektif menggabungkan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan untuk mencapai tujuan bersama. Pencapaian ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan jangkauan layanan yang ditawarkan dan mengarah pada perawatan yang komprehensif di seluruh rentang kehidupan.
Manfaat Kolaborasi
Untuk Pasien
·         Meningkatkan pelayanan dengan meningkatkan koordinasi pelayanan, terutama untuk masalah-masalah yang kompleks.
·         Mengintegrasikan pelayanan kesehatan untuk berbagai macam masalah dan kebutuhan.
·         Memberdayakan pasien sebagai mitra aktif dalam terapi.
·         Dapat melayani pasien dari latar belakang budaya yang beragam.
·         Menggunakan waktu yang lebih efisien.
Untuk Tenaga Medis Profesional
·         Meningkatkan profesionalitas.
·         Memfasilitasi penanganan dari suatu penyakit akut, perawatan berkesinambungan jangka panjang perawatan pencegahan.
·         Memungkinkan praktisi untuk belajar keterampilan dan pendekatan baru.
·         Meningkatkan inovasi.
·         Memungkinkan tenaga medis untuk fokus pada masing-masing bidang keahlian.
Untuk Dosen dan Mahasiswa
·         Menawarkan berbagai pendekatan lain dalam perawatan kesehatan untuk dipelajari.
·         Memupuk apresiasi dan pemahaman tentang disiplin ilmu lainnya.
·         Sebagai rancangan strategi untuk praktek masa depan.
·         Meningkatkan partisipasi siswa.
·         Tantangan norma dan nilai-nilai dari disiplin ilmu masing-masing.
Untuk Penyuluh Kesehatan
·         Meningkatkan potensi untuk penyuluhan kesehatan yang lebih efisien.
·         Memaksimalkan sumber daya dan fasilitas.
·         Menurunkan beban pada fasilitas perawatan sebagai akibat dari peningkatan pencegahan penyakit.
·         Memfasilitasi upaya peningkatan kualitas berkelanjutan.


Cara membangun dan mempertahankan kolaborasi tim kesehatan :
1.      Cara membangun :
a.       Adanya hubungan personal antara masing-masing individu dalam tim kesehatan
b.      Memahami kompetensi masing-masing (background) dengan cara saling berbagi suatu masalah yang dimiliki oleh pasien
c.       Mencari waktu yang tepat untuk melakukan diskusi agar lebih efektif (dengan cara mencari kesesuaian jadwal diantara tiapa individu dalam tim kesehatan)
d.      Saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dari masing-masing individu yang akan memperkaya diri
Karakteristik dari tim kesehatan yang baik, yaitu :
1.      Memiliki tujuan yang jelas dan visi misi atau komitmen yang sama untuk mencapai tujuan tersebut
2.      Memahami tanggung jawab dan peran masing-masing individu di dalam tim kesehatan
3.      Komunikasi yang efektif dan intensif
4.      Saling memiliki kepercayaan, saling menghormati dan d=saling mendukung satu sama lain
5.      Memberikan apresiasi terhadap kontribusi dari smeua anggota tim
6.      Kepemimpinan yang efektif
7.      Mekanisme dan strategi tugas untuk masing-masing tim
8.      Struktur organisasi yang sesuai
Cara mempertahankan
1.      Tetap fokus
2.      Jika tujuannya tercapai akan diberikan penghargaan
3.      Berkomunikasi dan mengadakan pertemuan yang rutin untuk terlibatnya semua personil
4.      Terus mencari solusi dari berbagai konflik
5.      Menghargai kontribusi dari masing-masing anggota
6.      Menghargai pengaruh dari anggota yang masuk dan keluar
7.      Memberikan pengenalan kepada anggota baru
8.      Kesempatan untuk setiap anggota mengikuti acara sosial

analisis jurnal 4


Multiprofesional Learning 89
Menumbuhkan Ketrampilan Kepemimpinan dan Team-Building serta Penghargaan terhadap Profesi Lain Melalui Interprofessional Education Analisis Kemungkinan Penerapannya Pada Fakultas Kedokteran di Indonesia

Fostering Medical Students’ Leadership and Team Building Skills and Respect toward Other Health Profession through Inter-Professional Education
Analysis of Its Possible Application in Indonesian Medical Schools
Endang Lestari1*

ABSTRACT
Inter-professional learning is becoming a very hot issue in medical education field in Indonesia nowadays. Many medical faculties carried out discussions about this topic to consider the possibility to apply the method of learning in their own faculties. This writing is a critical review of an article concerning multiprofessional learning in medical field and an analysis of its possible implications to improve the quality f medical education in Indonesia (Sains Medika, 3(1):89-101).

Key words: Interprofessional learning, medical education, team working

ABSTRAK
Inter-professional learning menjadi issu nasional dalam bidang pendidikan kedokteran. Berbagai diskusi dilakukan di beberapa perguruan tinggi, untuk mengkaji kemungkinan penerapan pendekatan multiprofesi dalam bidang kesehatan tersebut. Berikut adalah review terhadap salah satu artikel mengenai multiprofesional learning dalam bidang medis serta membahas berbagai implikasi yang dapat dipelajari dari artikel tersebut bagi pengembangan pendidikan kedokteran di Indonesia (Sains Medika, 3(1):89-101).

Kata kunci: Interprofessional learning, pendidikan kedokteran, team working

PENDAHULUAN
Artikel ini merupakan review dari artikel yang ditulis oleh Oneha, F. Yoshimoto, Cedric. Enos, dan Nui (2001) dari Wainae Coast Comprehensive Health Center, Hawaii, USA dengan judul Educating Health Professionals in Community Setting: What Students Value.
Artikel tersebut merupakan laporan penelitian yang dilakukan oleh Tim Bagian Community
Health Service, Waianae Coast Comprehensive Health Center, Amerika Serikat. Penelitian
yang dilakukan penulis tersebut ditujukan untuk menggali pengalaman yang diperoleh siswa selama mengikuti kegiatan di Health Center yang kemudian sangat berpengaruh pada kegiatan praktik kedokteran yang mereka lakukan setelah mereka menjadi dokter. Metode yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah survei, dengan 1 Bagian Medical Education Unit Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) * Email: endang271@yahoo.com 90 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011 mengirimkan kuesioner kepada 65 dokter yang selama menjalani pendidikan dokter pernah mengikuti kegiatan di Health Center tersebut. Tiga pertanyaan dalam kuesioner yang dikirimkan kepada para dokter tersebut adalah: (1) tiga pengalaman apa sajakah yang anda peroleh di Health Center yang sangat bermanfaat bagi praktik anda sekarang? (2) ada hal lain yang akan anda sampaikan kepada kami? (3) bekerja di manakah anda sekarang?

Hasil dari penelitian survei tersebut menunjukkan bahwa ada tiga komponen yang sangat berpengaruh bagi kegiatan praktik mereka sekarang, yakni (1) pendekatan multiprofesional yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran (2) setting dan kontak dengan komunitas, (3) pemahaman budaya komunitas tempat melakukan praktik. Pengalaman yang mereka peroleh selama mengikuti kegiatan di Health center tersebut tenyata juga mempengaruhi pilihan kerjanya, sebagian besar telah dan berniat praktik di komunitas tertentu, seperti daerah pinggiran dan daerah yang belum memperoleh layanan kesehatan.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kurikulum kedokteran komunitas dengan pendekatan multiprofesional sangat relevan dengan kebijakan praktik pelayanan medis yang diterapkan saat ini di Amerika Serikat. Yang dimaksud multiprofesional adalah profesi dari berbagai disiplin seperti misalnya dokter, perawat, pekerja sosial, kesehatan masyarakat yang duduk bersama dan bekerja sama dalam satu tim untuk mengidentifikasi dan menerapkan program pelayanan kesehatan masyarakat. Kurikulum multiprofesional ini diterapkan bagi siswa di Universitas Hawai. Tujuan dari penerapan kurikulum tersebut adalah menyusun model pendidikan kesehatan yang berorientasi pada komunitas untuk berbagai profesi kesehatan. Siswa dari berbagai jurusan melakukan kegiatan dalam satu tim interdisipliner, maksudnya mereka bekerja bersama, menentukan kebijakan, tujuan kegiatan secara tim. Bedanya dengan tim multidisipliner adalah bahwa tim tersebut terdiri dari anggota dari berbagai bidang, kemudian bekerja dengan tujuan masing-masing, bukan satu tujuan tim.
Proyek yang diberikan kepada tim interdisipliner ini adalah menyelesaikan masalah kesehatan di daerah pinggiran. Sebelumnya mereka mendapatkan pendidikan interdisipliner di daerah pinggiran Virginia. Keuntungan yang didapat dari kegiatan ini Multiprofesional Learning 91 adalah bahwa (1) mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi peran yang harus dilakukan masing-masing profesi, yang selanjutnya dapat menumbuhkan rasa hormat kepada profesi lain (2) memberikan apresiasi pada dimensi kultural dengan cara hidup
bersama di komunitas tempat meeka bertugas, dan mengikuti berbagai kegiatan kemunitas
(3) menghormati kelebihan dan kontribusi masing-masing disiplin untuk menyelesaikan masalah tim (4) memiliki pengalaman bekerjasama dengan profesi lain. Penelitian tersebut sangat menarik dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat mengenai pengaruh positif penerapan kurikulum community basedmultiprofessional bagi pendidikan kedokteran. Dalam tulisan ini akan dieksplorasi mengenai kegiatan community based multiprofessional education yang diterapkan dalam kegiatan di Health Center. Selanjutnya akan dijelaskan mengapa kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi praktik dokter dengan menggunakan teori Interdisciplinary Collaborative Practice (IDCP) yang dikemukakan oleh Orchard et al., (2005). Manfaat —dalam konteks kepemimpinan—apa sajakah yang dapat diperoleh melalui kegiatan tersebut juga akan dieksplor. Kemudian akan dikritisi pula mengenai kemungkinan penerapan multidisciplinary practice ini dalam kegiatan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Kajian terhadap teori pendidikan yang melandasi penerapan pendidikan multiprofessional Perlu ditegaskan mengenai perbedaan multi-professional dan interprofessional education, karena kedua terminologi tersebut sering dipergunakan secara bergantian bahkan yang satu menggantikan yang lain, padahal keduanya memiliki pengertian dan ciri yang berbeda. CAIPE (Centre for the Advancement of Inter-Professional Education,
1997) mendefinisikan multi-professional education sebagai proses pembelajaran yang terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar berdampingan untuk tujuan apapun, sedangkan inter-professional education adalah proses pembelajaran yang terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar dari dan mengenai satu profesi dengan profesi lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan (Lorente et al., 2006). Bertolak dari definisi ini, maka sesungguhnya istilah yang tepat untuk menjelaskan fenomena kegiatan di Wainae Coast Comprehensive Health Center, Hawaii, USA tersebut adalah inter-professional learning. Penggunaan istilah ini didasarkan pada adanya fenomena saling belajar dan mengajar 92 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011
antara satu profesi dengan lainnya, untuk memahami peran dan tanggung jawab masingmasing profesi.
Dalam artikel tersebut, penulis tidak menyampaikan teori pendidikan yang melandasi diterapkannya pendekatan tersebut. Bagi pendidikan kedokteran, penerapan pendekatan multiprofesional ini adalah bagian dari upaya untuk memberikanpengalaman pembelajaran seperti yang akan dihadapi oleh pembelajar kelak di lingkungan kerjanya. Oleh karena itu, pendekatan ini selaras dengan teori konstruktivisme. Simon (2001) melaporkan bahwa dasar-dasar konstruktivisme yang melandasi penerapan pendekatan pembelajaran antara lain:
- Belajar adalah proses aktif, dan pengalaman sangat mempengaruhi berarti atau tidaknya sebuah informasi.
- Konsep yang dimiliki seseorang akan berkembang seiring dengan negosiasi makna dan berbagi pandangan dari berbagai perspektif. Perubahan representasi internal terjadi melalui kegiatan belajar kelompok.
- Belajar harus disesuaikan dengan situasi yang nyata, yang akan dihadapi oleh pembelajar kelak.
Secara umum dipahami bahwa kerja dokter dalam pelayanan medis akan selalu
berhubungan dengan profesi-profesi lain, seperti perawat, dan bagian kesehatan masyarakat. Mahasiswa harus diberi pengalaman mengenai apa dan harus bagaimana berinteraksi dengan dan hormat kepada profesi lain, dengan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik. Jika pengalaman mengenai hubungan interpersonal dengan profesi lain tidak pernah diperoleh siswa selama pendidikan, maka bisa dimungkinkan mereka akan tidak siap atau butuh penyesuaian waktu yang lama untuk bekerjasama dengan profesi lain di tempat kerjanya kelak. Oleh karena itu, Pittilo dan Ross (1998), Orchard et al., (2005), Iedema et al., (2004) dan Horder (2000) semua menyarankan pentingnya mengembangkan kultur multiprofesional tersebut dalam pendidikan kedokteran.
Konsep collaborative learning dan self directed learning – inti dari pendekatan pembelajaran orang dewasa – sangat mewarnai kegiatan pembelajaran dengan menggunakan community based multi-professional education ini. Pada umumnya, dalam Multiprofesional Learning 93 kegiatan work based learning seperti yang dilakukan di Waianae Coast Comprehensive Health Center ini menuntut siswa untuk secara mandiri menentukan tujuan yang akan diperoleh dalam kegiatan tersebut dan bentuk kegiatan yang akan dilakukan dan
dipelajari, dengan difasilitasi oleh para tutor (Maclaren dan Marshall, 1998). Fenomena tersebut adalah gambaran aplikasi self directed learning. Aplikasi collaborative learning dapat dilihat dari kerjasama multiprofesi tersebut untuk melakukan interdisciplinary team-work, baik sejak penentuan tujuan dan kegiatan team, hingga pelaksanaan dan evaluasi kegiatan tersebut.
Kajian terhadap manfaat multiprofessional education bagi pendidikan kedokteran
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Oneha et al., (2001) tersebut, dengan mengeksplorasi pendapat dokter yang sudah praktik yang dahulu pernah mengenyam pendidikan di Waianae Coast Comprehensive Health Center tersebut, diketahui bahwa manfaat pendekatan pelayanan dan pembelajaran multiprofesional tersebutlah yang dirasakan sangat bermanfaat bagi mereka dalam menjalankan tugas pelayanan saat ini, selain manfaat dari pembelajaran budaya komunitas tempat mereka belajar menjalankan tugas. Oneha et al., (2001) juga membahas manfaat kegiatan tersebut bagi pengembangan personal dan profesi serta kemampuan untuk memberikan arahan bagi pengembangan diri dan karier di masa yang akan datang.
Pemberian pengalaman kepada siswa untuk melakukan pembelajaran pada konteks multiprofesionalme adalah ide yang sangat hebat. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh siswa ketika melakukan multiprofessional education dengan menggunakan interdisciplinary team-work, antara lain adalah tumbuhnya pemahaman nilai-nilai kepakaran dari profesi pemberi pelayanan kesehatan yang beragam. Pelayanan interdisipliner memungkinkan siswa untuk melakukan partnership antara berbagai profesi pelayan kesehatan dan klien dengan menggunakan pendekatan partisipatoris, kolaboratif dan terkoordinasi untuk menyusun keputusan seputar masalah kesehatan. Terkait dengan interdisciplinary team-work ini, Orchard et al., (2005) menyusun konsep patient centered interdisciplinary collaborative practice (IDCP).
Proses perubahan selama pengembangan kekelompokan Secara teori, menurut Orchard et al., (2005), ada beberapa fase yang akan dilalui oleh kelompok dalam mengembangkan team-work, yakni fase sensitisasi, fase eksplorasi, fase implementasi dan fase evaluasi. Pada fase sensitisasi, terjadi penyusunan struktur organisasi, ketidaksetaraan kekuatan dan sosialisasi peran. Selanjutnya pada fase eksplorasi, terjadi klarifikasi peran yang harus dilakukan tiap individu dalam kelompok dan penghargaan peran masing-masing. Pada even klarifikasi peran, anggota kelompok mendiskusikan: (a) kejelasan pemahaman mengenai peran masing-masing, (b) percaya diri dengan kemampuan pribadinya, (c) mengenali hal-hal terkait dengan profesinya, (d) komitmen terhadap nilai dan etika profesinya, (e) mengetahui standard praktik pelayanan sesuai dengan profesinya masing-masing. Peran pasien dalam kegiatan kolaborasi ini juga harus dieksplor bersama pasien dan tim.
Selanjutnya, pada fase implementasi terjadi proses saling mempercayai hubungan
antar tiap anggota, yang ditandai dengan: (a) adanya pembagian tanggung jawab dalam pelayanan pasien, (b) pelayanan dilakukan secara kooperatif (c) pendekatan kerja tim Multiprofesional Learning 95 didasarkan pada kemauan untuk berpartisipasi dan keikutsertaan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, (d) power atau kekuasaan diberikan berdasarkan keilmuan yang dimiliki. Pada fase evaluasi, tim akan mengevaluasi efektivitas kerja tim. Beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi adalah proses kerja kelompok, kepuasan anggota kelompok, luaran pelayanan (hasil yang diperoleh pasien), dan kepuasan pasien dan keluarganya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kelompok yang produktif adalah kelompok yang memfokuskan diri pada tugas yang harus dilaksanakannya dan komunikasi antar kelompok. Pada pelaksanaan tugas, hal yang ikut berpengaruh dalam keberhasilannya adalah (a) kemampuan untuk melakukan kepemimpinan informal, (b) kemampuan untuk menyusun tujuan kegiatan, (c) kemampuan saling mempengaruhi, (d) negosiasi peran (e) kemampuan untuk membangun kekelompokan, (f) problem solving, (g) menentukan masalah, (h) manajemen konflik. Kunci keberhasilan lainnya adalah bagaimana perbedaan pendapat dan konflik yang terjadi dapat ditangani dan apakah perbedaan pendapat dapat diterima dengan cara yang baik. Jika keduanya dapat dikuasai oleh anggota kelompok, maka jalan team work akan berjalan dengan lancar. Bertolak dari penjelasan terakhir tersebut, bisa dipahami bahwa kemampuan kepemimpinan dan team working harus dikuasai oleh siswa baik mulai dari fase sensitisasi hingga evaluasi. Sayang sekali kuesioner Oneha et al., (2001) tidak secara spesifik memberikan pertanyaan mengenai manfaat aplikasi kepemimpinan dan
pengelolaan team work yang telah mereka pelajari dalam multiprofessional education tersebut pada pekerjaan mereka sekarang. Dalam paper laporan hasil penelitian tersebut juga tidak banyak dibahas aspek kepemimpinan dan team working dalam pendidikan multiprofessional. Ketiga pertanyaan dalam kuesioner tersebut adalah pertanyaan umum
yang harapannya akan memungkinkan munculnya jawaban yang sifatnya umum pula.
Meskipun demikian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa mendapat banyak pelajaran dari pendidikan multiprofessional yang dilaksanakan. Bisa jadi beberapa
diantaranya adalah manfaat dari penerapan prinsip kepemimpinan, dan pengembangan team work, seperti pada konsep yang dijelaskan oleh Orchard et al., (2005). 96 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011


Kajian terhadap kemungkinan penerapan pendidikan interprofesional dalam pendidikan kedokteran di Indonesia
Dari artikel yang ditulis oleh Oneha tersebut, diketahui bahwa kegiatan pendidikan
multiprofesi ini dilakukan di sebuah Health Center di daerah urban yang dikelola oleh Universitas Hawaii. Mahasiswa dari berbagai jurusan terkait belajar bersama dan dikelompokkan dalam tim multiprofesi untuk melakukan kegiatan yang diatur oleh Health
Center tersebut. Pertanyaannya kemudian apakah kegiatan seperti ini bisa dilakukan pada perguruan tinggi lain yang belum memiliki Health Center yang dikelola pribadi oleh Universitas? Mungkinkah pendidikan multiprofesi ini dilakukan di tempat lain, misalnya
di rumah sakit pendidikan yang dikelola oleh universitas?
Hal yang dapat kita pelajari dari artikel ini adalah tersedianya sarana pendidikan berupa Health Center di daerah urban, tempat siswa melakukan kegiatan dengan profesi
lain. Ketersediaan sarana tersebut sangat mendukung penerapan community based curriculum. Fenomena tersebut sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada pendidikan dokter di Indonesia. Sekarang, hampir semua fakultas kedokteran di Indonesia mengklaim
diri menerapkan kurikulum pendidikan kedokteran mengarahkan siswa untuk menjadi tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan dasar dan menerapkan community based curriculum. Namun, jatah waktu praktik yang diberikan kepada siswa untuk berinteraksi dengan sarana pelayanan kesehatan dasar, seperti puskesmas, sangat minim – pada umumnya hanya dilaksanakan pada saat rotasi bagian Kedokteran Komunitas. Sebagian besar praktik rotasi klinik dilakukan di rumah sakit. Dari artikel Oneha tersebut, selayaknya dapat diambil pelajaran bahwa layanan kesehatan dasar yang berbasis pada komunitas, tempat siswa berlatih untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar dan memahami seluk beluk pelayanan kesehatan dasar perlu disediakan oleh penyelenggara pendidikan kedokteran dan jatah waktu stase di layanan primer tersebut juga harus mencukupi hingga mahasiswa dapat mengenali tugas profesionalnya di layanan primer. Jika institusi pendidikan tidak mampu untuk mengelola sendiri, maka mereka dapat bekerjasama dengan institusi layanan kesehatan primer yang telah ada. Kerjasama dengan institusi layanan primer yang dikelola oleh departemen kesehatan memang merupakan alternatif penyelesaian yang disarankan oleh Pittilo dan Ross (1998), untuk mengatasi masalah tempat kegiatan pendidikan multiprofesi di UK. Meskipun Multiprofesional Learning 97 demikian, pendidikan multiprofesi tersebut sangat memungkinkan dilakukan pula dirumah sakit pendidikan maupun di tempat pelayanan kesehatan lain, ataupun di komunitas tertentu.
Permasalahan yang urgen untuk dipertimbangkan sesungguhnya adalah apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengambilan kebijakan mengenai kegiatan pendidikan yang harus ditempuh oleh mahasiswa dari berbagai jurusan atau bahkan fakultas yang berbeda tersebut dapat duduk bersama untuk merancang kegiatan pendidikan multiprofesi ini bagi mahasiswa mereka. Untuk menerapkan kegiatan ini, paling tidak ada dua atau tiga jurusan yang akan saling berinteraksi, seperti fakultas kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan kesehatan masyarakat. Apakah mereka bersedia berkolaborasi untuk menyelenggarakan kegiatan ini, selain itu, siapakah yang harus menjadi pelopor untuk mengajak mereka duduk dalam satu forum memikirkan konsep pendidikan multiprofesi yang akan diterapkan untuk mahasiswa mereka? Tidak jarang pula pada perguruan tinggi tertentu, hanya memiliki fakultas kedokteran, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pendidikan multiprofesional. Berbagai realitas inilah yang memang kemudian menjadi kendala diterapkannya pendidikan multiprofesional di Indonesia.
Menyadari bahwa pendekatan ini sangat bermanfaat bagi siswa untuk memberikan pengalaman belajar dalam konteks multiprofesi, sebagaimana yang akan mereka hadapi kelak di tempat kerja yang harus segera diselesaikan, maka permasalahan tersebut perlu segera diselesaikan. Untuk penerapan ketrampilan kepemimpinan dan team building, pada umumnya, institusi pendidikan kedokteran lebih memilih untuk mengambil jalan pintas dengan memberikannya dalam bentuk kegiatan team work di rotasi klinik dan perkuliahan, dan belum melalui multi professional education. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cornell
dan Pascoe (2004) mengenai kurikulum kepemimpinan pada berbagai institusi pendidikan dokter menunjukkan bahwa delapan dari institusi pendidikan kedokteran yang ditelitinya, yang tergabung dalam Undergraduate Medical Education for the 21st Century (UME-21) pada umumnya telah mengembangkan kurikulum kepemimpinan danteam working. Secara umum, prinsip-prinsip dan pentingnya kepemimpinan serta team work diajarkan dan diterapkan melalui kerjasama kelompok dalam rotasi klinik. Tiga institusi pendidikan yang diteliti mengajarkan kepemimpinan dan team working melalui 98 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011 kegiatan pengajaran dan workshop, dan satu institusi pendididkan dokter yang menggunakan ‘gross anatomy dissection’ sebagai wahana untuk menerapkan konten material. Belum ada laporan mengenai pemberian materi kepemimpinan dan team working dalam konteks pendidikan kedokteran di Indonesia. Pengalaman kepemimpinan dan team working pada rotasi klinik yang beranggotakan profesi yang sama, yakni mahasiswa kedokteran, tentu berbeda dengan pengalaman kepemimpinan dan team working yang akan dipelajari oleh mahasiswa jika mereka melakukannya dengan profesi lain. Seperti dijelaskan oleh Orchard (2005) bahwa pengalaman praktik interdisipliner memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dengan profesi lain, menghormati nilai-nilai dan kepakaran profesi lain,
saling belajar, serta berbagi dalam membuat keputusan layanan – hal yang tidak mungkin
dilakukan dalam kegiatan team satu profesi, apapun bentuknya.
Sesungguhnya, jika institusi pendidikan profesi kesehatan, baik kedokteran, keperawatan, kesehatan masyarakat dan lain-lain, menyadari pentingnya pengalaman tersebut bagi siswa, maka harus dicari jalan keluar untuk mengatasi masalah sulitnya komunikasi dan kerjasama antar institusi pendidikan tenaga medis. Salah satu pemecahannya adalah yang dilakukan di Universitas Hawai tersebut. Jika kita telusur penjelasan Oneha diketahui bahwa kegiatan pendidikan multidisiplin ini dikelola sepenuhnya oleh Health Center. Mahasiswa fakultas kedokteran, keperawatan, social worker dan kesehatan masyarakat di perguruan tinggi tersebut dikirim oleh institusinya masing-masing untuk dikelola dan dibina oleh Health Center. Sesungguhnya konsep ini sudah diterapkan oleh beberapa Fakultas Kedokteran di Indonesia, yakni dengan mengirimkan mahasiswa untuk dididik di Balai Pelatihan Kesehatan (BAPELKES) yang dikelola oleh Departemen Kesehatan. Akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa jika desain pendidikan di BAPELKES tersebut adalah desain pendidikan multiprofesi bahkan interprofesi. Alternatif lain yang mungkin lebih ideal adalah kearifan komite atau tim yang bertanggungjawab menyusun kurikulum dari berbagai bidang, seperti kedokteran, keperawatan, kebidanan, kesehatan masyarakat, administrasi, hukum, dan lain-lain untuk duduk bersama merumuskan kurikulum pendidikan multiprofesional maupun
interprofesional. Kurikulum disusun dengan mempertimbangkan bahwa kegiatan pembelajaran tersebut dilakukan pada setting rumah sakit pendidikan, layanan Multiprofesional Learning 99 kesehatan, maupun komunitas. Bagi perguruan tinggi yang belum memiliki bidang studi lain yang terkait dengan bidang kedokteran, misalnya hanya memiliki fakultas kedokteran saja, maka kegiatan multiprofesi di bidang medis dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan institusi pendidikan lain.
Kesiapan pendidik juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Diketahui bahwa
mahasiswa belajar dari dosen sebagai role model. Oleh karena itu, jika pendekatan ini hendak diterapkan, maka harus disepakati bersama pula oleh staf pengajar bahwa merekapun hendaknya memberikan contoh perilaku kinerja multiprofesi yang benar. Pembagian kerja, team working serta penghargaan terhadap profesi lain juga perlu ditekankan dan dicontohkan oleh dosen. Berbagai hasil penelitian menunjukkan pentingnya role model bagi pembelajaran profesi kedokteran (Haidet dan Stein, 2006;
Maheux et al., 2000; Matthews, 2000; Purcell, 2003). Bahkan dalam penelitiannya, Elzubair dan Rizk (2001) menjelaskan bahwa karakteristik personal yang dipelajari dan dinilai serta dicontoh oleh mahasiswa dari dokter sebagai pengajar antara lain adalah perilaku
penghargaan terhadap pasien, keluarga pasien, penghargaan terhadap dan kerjasama dengan staf dan kolega. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosen benarbenar diposisikan oleh mahasiswa sebagai contoh, termasuk dalam konteks penghargaan terhadap profesi lain. Untuk kepentingan ini, perlu dilakukan penyiapan khusus secara kolaboratif oleh berbagai bidang yang akan saling bekerja sama dalam pendidikan multiprofesi dan atau interprofesi ini.

KESIMPULAN
Dari artikel yang ditulis oleh Oneha et al., (2001) mengenai pendidikan multiprofesional ini memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk mengembangkan pendidikan dokter di Indonesia. Diskusi mengenai manfaat pendidikan multiprofesi bagi peningkatan kepemimpinan dan team building dengan profesi lain sudah diulas.
Pengalaman dan peningkatan skill kepemimpinan dan team building memang bisa
dilakukan dengan kegiatan kolaborasi dalam tim seprofesi, seperti misalnya dalam rotasi klinik. Akan tetapi, diyakini bahwa pengalaman untuk dapat menumbuhkan pemahaman dan penghargaan pada nilai-nilai kepakaran dari profesi pemberi pelayanan kesehatan yang beragam, melakukan partnership antara berbagai profesi pelayan 100 Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2011 kesehatan dan klien dengan menggunakan pendekatan partisipatoris, kolaboratif dan terkoordinasi untuk menyusun keputusan seputar masalah kesehatan, hanya bisa dilakukan melalui pendidikan multidisipliner. Persiapan yang perlu dilakukan adalah seputar penyusunan kurikulum multiprofesi dan interprofesi, penyiapan staf pengajar dan lingkungan pembelajaran multiprofesi dan interprofesi beserta kegiatannya. Mengingat pentingnya pemberian pengalaman pendidikan multidisipliner ini, pimpinan institusi pendidikan yang terkait dengan tenaga medis perlu duduk bersama untuk merancang kegiatan bersama multidisipliner tersebut. Kegiatan tersebut dapat ditangani oleh lembaga khusus, seperti di Health Center Universitas Hawai, atau ditangani bersama oleh institusi pendidikan sendiri di rumah sakit pendidikan. Salah satu institusi tersebut harus berdiri sebagai pemrakarsa, yang kemudian mengajak institusi lain untuk duduk dan mendiskusikan masalah krusial ini.

DAFTAR PUSTAKA
Cornell, M. dan Pascoe JM., 2004, Undergraduate Medical Education for the 21st Century:
Leadership and Teamwork, Family Medicine, 2004, Vol. 36, January, S51-S56.
Haidet, P., Stein, H. F., 2006, The Role of the Student-Teacher Relationship in the Formation
of Physicians The Hidden Curriculum as Process, J GEN INTERN MED; 21; S16-20
Horder, J., 2000, Leadership in multi-professional context, Medical Education, 2000 34,
203-205.
Iedema, Y, Degeling, P, Braithwaite, J., 2004, Medical Education and Curriculum Reform:
Putting reform proposals in context, Med Educ Online: 9:17 http://www.med-edonline.
org.
Lorente M., Hogg G., Ker J., 2006, The challenges of initiating a multi-professional clinical
skills project, Journal of Interprofessional Care, June; 20(3): 290 – 301
Maclaren, P and Marshall, S., 1998, “Who is the learner? An examination of the learner
perspectives in Work-based learning”, Journal of Vocational Education and Training,
50 (3), 327-336
Maheux, B., Beaudoin, C., Berkson, L., Gote, L., Marchais, J., Jean, P., 2000, Medical faculty
as humanistic physician and teachers: The perception of students at innovative
and traditional medical school, Medical Education; 34: 630-634.
Matthews, C., 2000, Role modelling: How doest it influence teaching in family medicine,
Medical Education; 34: 443-448.
Oneha M F, Yoshimoto CM, Bell S, Enos RN, 2001, Educating Health Profisionals in a
Community Setting: What students Value, Education for Health, 14, (2), 256-266.
Multiprofesional Learning 101
Orchard AA, Curran V, and Kabene S, 2005, Creating a Culture for Interdisciplinary
Collaborative Professional Practice, Med Ecuc Online: 10; 11, http://www.med-edonline.
org
Pittilo RM, Ross FM, 1998, Polecies for Interprofessional Education: Current Trends in
The UK, Education fo Health, 11 (3) 285-295
Simon, SD., 2001, From Neo Behaviorism to Social Contructivism? The Paradigmatic Non-
Evolution of Albert Bandura, Thesis submitted to Emory University, Downloaded
at 24-11-2006.


ANALISIS JURNAL
1.      Latar belakang : mengembangkan ketrampilan dalam menjalani suatu profesi, apalagi yang berhubungan dengan dunia kesehatan, tentunya tidaklah suatu hal yang mudah. Berbagai profesi kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, dan lainnya pasti akan bertemu dengan berbagai macam karakter pasien dengan berbagai macam keluhan penyakit yang berbeda pula. Oleh sebab itu, profesi ini sangat menuntut setiap pribadinya untuk memiliki sebuah ketrampilan dalam mengembangkan ketrampilan dalam hal kepemimpinan, baik untuk memimpin diri sendiri juga untuk memimpin organisasi yang akan dijalankan bersama-sama antar tim kesehatan agar dapat menghasilkan sebuah “pelayanan” yang terbaik baik pasien.
2.      Tema : ketrampilan kepemimpinan sangat membantu profesi yang berkaitan dengan dunia kesehatan untuk membangun sebuah tim yang solid dan baik guna membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidupnya.